BANDUNG – Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH Unpad) menggelar diskusi bertema "Dialog Resisting Authoritarianism in Indonesia and Hungary: Youth, Parliament, and Democratic Alliances" di Gedung FH Unpad, Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Jumat (25/7/2025).
Tema ini diangkat karena adanya kemunduran demokrasi yang terjadi di berbagai negara, terutama Indonesia dan Hungaria. Forum diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Partai Perindo Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, M.Si, Profesor Hukum Tata Negara Unpad Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M, Bernadett Szél, Ph.D, mantan anggota parlemen Hungaria periode 2012–2022, peneliti Taiwan Fellow di Soochow University, dan kandidat perdana menteri dari LMP–Hungarian Green Party.
Sejumlah mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (HTN) FH Unpad juga hadir dalam diskusi yang digelar secara hybrid, online dan offline, serta disiarkan langsung melalui kanal YouTube Departemen HTN Unpad. Para mahasiswa pun terlibat aktif dalam sesi tanya jawab.
Narasumber terlibat dalam diskusi mendalam mengenai kehadiran rezim otoritarian dan peran berbagai elemen seperti pemuda, oposisi, dan masyarakat sipil sebagai aliansi demokratis untuk bersama-sama melawan pemerintahan otoriter.
Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah menilai forum dialog ini sangat penting, karena peserta dapat menggali informasi, pemahaman, dan pengetahuan tentang otoritarianisme di Indonesia dan Hungaria.
Yang menarik, kata Ferry, dialog ini menyoroti kemunduran demokrasi di Indonesia. Dari berbagai perspektif dan data, memang kemunduran demokrasi tengah terjadi.
“The Economist Intelligence Unit merilis data indeks demokrasi Indonesia hanya sebesar 6,44. Ini turun dari tahun 2023 ke 2024. Posisi Indonesia berada di peringkat ke-56 dari total 167 negara. Artinya, Indonesia mengalami kemunduran dengan kategori ‘flawed democracies’ atau demokrasi cacat,” kata Ferry.
Karena itu, lanjutnya, diskusi seperti ini penting agar demokrasi Indonesia tidak terus mengalami kemunduran.
“Harus kita perbaiki bersama,” ujar Ferry.
Menurut Ferry, demokrasi Indonesia secara formal memang berjalan—dari aspek pemilu, kelembagaan, pemenuhan hak dasar rakyat, hingga fungsi checks and balances.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa demokrasi Indonesia masih mengalami kemunduran dalam praktik. Ia mencontohkan lemahnya isu-isu demokrasi dan semakin ditekan atau dilemahkannya organisasi non-pemerintah (NGO) pro-demokrasi.
Ferry menuturkan, dalam kondisi ini, partai politik harus betul-betul kuat dalam melaksanakan fungsi checks and balances. Partai politik harus berperan sebagai institusi utama dalam menghidupkan demokrasi, begitu pula lembaga legislatif.
"Ruang-ruang pemilihan umum harus betul-betul dibuka, melibatkan rakyat secara lebih aktif, sehingga tidak masuk ke wilayah otoritarianisme dan oligarki. Sekarang kan sedang dibuka ruang untuk revisi UU Pemilu, saya pikir ini penting agar kemunduran demokrasi tidak terus terjadi," tutur Ferry.
Ferry mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam menjaga kualitas demokrasi yang memerlukan perhatian menyeluruh terhadap berbagai aspek fundamental.
Perlindungan terhadap institusi negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dari pelemahan, menurut Ferry, harus menjadi prioritas utama untuk menjaga sistem checks and balances dalam pemerintahan.
Partisipasi publik yang berkualitas juga perlu ditingkatkan melalui edukasi politik yang komprehensif, meskipun dihadapkan pada kendala menurunnya ekonomi rakyat. Reformasi birokrasi, terutama di tingkat lokal, menjadi kebutuhan mendesak untuk mengatasi kekakuan dan stagnasi yang menjauhkan pemerintah dari masyarakat.
"Perluasan ruang kebebasan sipil dan pelembagaan partisipasi di media sosial (medsos) pun perlu dilakukan secara elegan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat tanpa menimbulkan kekhawatiran berlebihan dari pemerintah," ucap Ferry.
Ferry juga menyatakan bahwa transformasi budaya politik dari yang bersifat feodal menuju budaya politik merdeka harus didorong melalui peningkatan literasi budaya.
"Sehingga partisipasi politik dapat dibangun secara komprehensif dari hulu ke hilir hingga level kebijakan terbebas dari praktik politik uang, dan benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat dalam membangun demokrasi yang sehat dan berkelanjutan," ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Prof. Susi Dwi Harijanti. Ia memaparkan peran penting institusi pendidikan yang harus aktif menjaga demokrasi dari cengkeraman kekuasaan, dengan memberikan pencerdasan kepada masyarakat.
"Diskusi hari ini membahas isu penting yang saat ini dihadapi Indonesia, yaitu bagaimana memerangi otoritarianisme. Memerangi otoritarianisme itu membutuhkan kerja sama dari generasi muda, parlemen (DPR/MPR), dan lembaga-lembaga lain," kata Prof. Susi.
Diskusi ini, ujar Prof. Susi, menjadi wadah bagi para narasumber dan peserta untuk mencoba memetakan situasi yang dihadapi Indonesia saat ini. Sejak era reformasi 1998, telah banyak terjadi perubahan. Namun, perubahan-perubahan tersebut justru melenceng jauh dari tujuan awal reformasi, yaitu tegaknya negara hukum, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Artinya, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran dalam sepuluh tahun terakhir.
"Contohnya, ketika kita bicara tentang demokrasi konstitusional, kita melihat proses pembentukan undang-undang sangat bermasalah. Partisipasi publik diminimalkan. UU TNI, misalnya, tidak lama setelah diundangkan langsung diajukan permohonan uji formil sebanyak 14 kali. Ini menjadi sejarah pertama di Indonesia sejak Mahkamah Konstitusi didirikan," ujar Prof. Susi.
Prof. Susi juga menyoroti kualitas demokrasi di Indonesia dan pentingnya kehadiran institusi pendidikan tinggi sebagai pendorong utama dalam menjaga demokrasi, dengan memberikan pencerdasan kepada masyarakat tentang makna negara hukum.
Saat ini, tutur Prof. Susi, kesadaran masyarakat semakin tinggi akan pentingnya pembentukan undang-undang yang demokratis dan berkualitas, tidak hanya memperhatikan aspek formal, tetapi juga menghasilkan dampak nyata serta legitimasi dari rakyat.
Menurut Prof. Susi, kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam menguji formalitas undang-undang menjadi poin penting untuk memastikan proses legislasi yang transparan dan sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
"Aspek legitimasi moral dan etika dalam pemilihan presiden 2024 menjadi perhatian utama, mengingat validitas hukum saja tidak cukup jika tidak didukung oleh legitimasi moral dari masyarakat," tuturnya.
Prof. Susi menambahkan, demokrasi ekonomi sejatinya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun yang terjadi di Indonesia justru menonjolkan demokrasi politik secara semu—di mana warga hanya berpartisipasi dalam pemilu lima tahunan.
"Tetapi kelompok politik yang menang justru berpotensi mematikan demokrasi," ujarnya.
Di tengah kondisi tersebut, oligarki bangkit, otoritarianisme mulai terasa, dan kebebasan sipil semakin ditekan. Mahasiswa-mahasiswa yang bersuara kritis mengalami intimidasi, akademisi dikriminalkan, seperti yang dialami Bambang Hero dan Basuki Wasis.
Academic freedom yang dimiliki civitas akademika di semua universitas sebenarnya diharapkan dapat menopang demokrasi, memproduksi ilmu pengetahuan, dan memberikan solusi bagi masyarakat. Sayangnya, kritik dari beberapa akademisi kurang mendapat tempat di pemerintahan maupun di kalangan penguasa.
"Padahal, pemerintahan ini harus menghormati pendekatan science-based dan evidence-based. Dengan kedua pendekatan itu, penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan dan dijalankan dengan rasionalitas. Ini penting bagi rakyat," ucap Prof. Susi.
Sementara itu, Bernadett Szél Ph.D. memaparkan pentingnya peran pemuda dalam memperkuat dan mempertahankan demokrasi, khususnya dalam konteks Hungaria yang mengalami perubahan politik signifikan sejak tahun 2010.
"Generasi muda aktif terlibat dalam gerakan menentang rezim otoriter dan berupaya menyusun kekuatan kolektif untuk melawan upaya perubahan konstitusi serta kebijakan yang mereduksi nilai-nilai demokrasi," kata Bernadett.
Bernadett menyatakan, generasi muda memiliki peran penting dalam melakukan perlawanan terhadap rezim otoriter dan mendorong penguatan demokrasi. Kolaborasi antara individu dan kelompok yang memiliki visi sejalan, tanpa memandang usia atau latar belakang, sangat penting dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi.
"Kontribusi mahasiswa dan organisasi muda memiliki peran signifikan dalam mempromosikan nilai-nilai demokratis serta hak asasi manusia," ujarnya.
Dalam membahas sejarah politik Hungaria, tutur Bernadett, terjadi pergeseran dari sistem demokrasi yang utuh menuju rezim otoriter sejak 2010. Ia juga menyoroti tantangan yang dihadapi aktivis muda, seperti propaganda negatif dari rezim otoriter yang menggunakan kampanye kebencian terhadap kelompok minoritas.
"Bahasa dan retorika memiliki peran penting dalam membentuk narasi politik. Karena itu, kaum muda didorong untuk memiliki kepekaan terhadap isu-isu hak asasi manusia dan membentuk jejaring global guna melawan otoritarianisme," tutur Bernadett.
Bernadett memandang pemuda sebagai kekuatan strategis yang mampu menyuarakan kritik dan berjuang demi nilai-nilai demokrasi di tengah tekanan politik yang terus berkembang.
Menurut Bernadett, kondisi demokrasi di Indonesia dan Hungaria hampir serupa—sama-sama mengalami kemunduran. Namun, di Indonesia kemundurannya lebih mengarah pada penguatan militer dalam proses demokrasi.
"Pemerintahan otoriter seperti wabah di berbagai negara di dunia. Namun ada perbedaan. Di Indonesia, militer menjadi tren sebagai ancaman demokrasi, sedangkan di Hungaria berbeda. Pemerintahan sipil justru yang melemahkan demokrasi itu sendiri," ucap Bernadett.
Ia menekankan bahwa langkah penting untuk melawan rezim otoriter adalah memperkuat peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan NGO. Mereka memiliki kontribusi besar dalam menyadarkan masyarakat akan hak-hak mereka. Rakyat, katanya, jangan dibiarkan berjuang sendiri.
Sebab jika itu terjadi, rakyat akan semakin lemah dalam menghadapi tekanan dari rezim yang memiliki kekuasaan, kekuatan, dan uang.
"Rezim otoriter tidak punya ideologi. Mereka hanya punya kekuasaan, kepentingan, dan uang," tegas Bernadett.
"Otoritarianisme itu mahal, sehingga rezim otoriter cenderung dekat dengan korupsi, melindungi oligarki, dan orang-orang di sekitarnya," ujarnya lagi.
Pemaparan para narasumber tersebut memicu tanggapan aktif dari mahasiswa dan dosen. Mereka menyoroti bagaimana gerakan masyarakat terus direpresi oleh sistem dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Bilal Dewansyah, dosen Hukum Tata Negara FH Unpad, menyoroti partisipasi dalam pembentukan hukum di Hungaria dan Indonesia.
"Berbagai taktik digunakan rezim otoriter untuk melemahkan proses demokrasi, seperti konsultasi nasional palsu dan kampanye propaganda," kata Bilal.
(Fetra Hariandja)