JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez, menyoroti serius kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru besar di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto.
Ia menegaskan bahwa apabila terbukti bersalah, pelaku harus dijatuhi sanksi hukum yang tegas dan tanpa kompromi.
"Kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan terhadap tubuh, martabat, dan hak asasi manusia. Ketika pelakunya adalah figur publik dalam dunia akademik, maka proses hukum harus dijalankan dengan integritas tinggi dan tanpa celah kompromi," ujar Gilang, Senin (28/7/2025).
Ia mendesak aparat penegak hukum dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktsaintek) untuk mengusut kasus ini secara profesional dan transparan. Gilang juga memperingatkan agar tidak ada upaya penyelesaian internal yang berpotensi melemahkan keadilan bagi korban.
"Tidak boleh ada perlindungan terhadap pelaku, negosiasi, atau penyelesaian administratif yang mengaburkan proses hukum. Keadilan bagi korban harus menjadi prioritas," tegasnya.
Diketahui, Kepolisian Resor Kota Banyumas saat ini tengah menyelidiki dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus Unsoed. Meski belum ada laporan resmi yang masuk, penyelidikan dilakukan untuk mengumpulkan informasi awal atas dugaan tersebut.
Peristiwa ini juga memicu gelombang aksi solidaritas dari mahasiswa yang menggelar demonstrasi di depan kampus Unsoed sebagai bentuk dukungan terhadap korban. Sementara itu, pihak rektorat telah membentuk Tim Pemeriksa yang terdiri dari tujuh orang untuk menuntaskan penanganan internal atas kasus ini.
Gilang menegaskan, bahwa hukum harus ditegakkan tanpa memandang status sosial, gelar akademik, maupun posisi pelaku.
"Polisi dan jaksa harus bertindak proaktif, cepat, adil, dan transparan. Lembaga penegak hukum perlu menunjukkan bahwa hukum tidak boleh tunduk pada status pelaku," lanjut legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah II tersebut.
Ia juga meminta agar korban mendapatkan perlindungan maksimal dari potensi intimidasi maupun tekanan selama proses hukum berlangsung.
"Pastikan seluruh alat bukti dan kesaksian dikelola secara profesional, dengan pendekatan yang berpihak pada korban," tambahnya.
Gilang mendorong pihak kepolisian untuk menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam penanganan perkara ini. Menurutnya, posisi pelaku sebagai pihak yang memiliki relasi kuasa terhadap korban harus menjadi faktor pemberat dalam proses hukum.
UU TPKS sendiri mengatur bahwa pejabat publik yang melakukan kekerasan seksual dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 12 tahun dan denda hingga Rp 300 juta, sebagaimana tercantum dalam Pasal 11.
"Jika terbukti, pelaku pantas menerima hukuman maksimal serta pencabutan hak sosial untuk berkiprah di dunia akademik maupun publik," tegasnya lagi.
Lebih lanjut, Gilang mengingatkan bahwa kasus seperti ini tidak boleh direduksi sebagai pelanggaran etik internal semata. Ia menekankan pentingnya memproses kasus kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang serius sesuai dengan UU TPKS.
"Dunia pendidikan tidak boleh menjadi tempat yang aman bagi predator seksual. Ini harus menjadi preseden hukum yang kuat," ujarnya.
Ia juga mengimbau seluruh perguruan tinggi untuk tidak menyelesaikan kasus kekerasan seksual hanya dengan sanksi administratif atau mendiamkannya demi menjaga nama baik institusi.
"Hukum pidana tidak bisa dinegosiasikan atas nama citra institusi. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum yang adil dan setara bagi semua warga negara, termasuk dalam konteks pendidikan tinggi," pungkasnya.
(Awaludin)