JAKARTA – Amerika Serikat (AS) menyatakan tidak akan mengizinkan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas untuk pergi ke New York bulan depan guna menghadiri Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana beberapa negara, termasuk sekutu Eropa AS, akan mengakui Palestina sebagai sebuah negara.
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri mengatakan Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya akan terdampak oleh keputusan penolakan dan pencabutan visa bagi anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) serta Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat.
Abbas telah merencanakan untuk menghadiri Sidang Umum tingkat tinggi tahunan PBB di Manhattan. Ia juga dijadwalkan menghadiri pertemuan puncak di sana, di mana Inggris, Prancis, Australia, dan Kanada telah berjanji untuk secara resmi mengakui negara Palestina.
Kantor Abbas menyatakan terkejut atas keputusan visa tersebut dan menilai bahwa langkah itu melanggar “perjanjian markas besar” PBB.
Berdasarkan “perjanjian markas besar” PBB tahun 1947, AS umumnya diwajibkan untuk mengizinkan akses bagi diplomat asing ke PBB di New York. Namun, Washington menyatakan dapat menolak visa dengan alasan keamanan, ekstremisme, dan kebijakan luar negeri.
Nabil Abu Rudeineh, juru bicara Abbas, pada Sabtu (30/8/2025) meminta Washington untuk mempertimbangkan kembali keputusannya.
“Kami mendesak pemerintah AS untuk membatalkan keputusan ini yang bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Perjanjian Markas Besar antara Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat yang melarang pembatasan akses bagi delegasi mana pun,” ujarnya kepada Reuters.
Beberapa menteri luar negeri Eropa yang tiba di pertemuan Uni Eropa di Kopenhagen pada Sabtu mengkritik keputusan AS tersebut.
Majelis Umum PBB “tidak dapat dibatasi aksesnya,” ujar Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot kepada para wartawan. Menteri Luar Negeri Irlandia Simon Harris mengatakan Uni Eropa harus memprotes keputusan itu “dengan sekeras-kerasnya”.
Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Sabtu bahwa ia telah berbicara dengan Abbas untuk menyatakan dukungan Madrid, dan menyebut keputusan visa itu “tidak adil”.
“Palestina berhak menyuarakan pendapatnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan di semua forum internasional,” ujarnya di X.
Departemen Luar Negeri membenarkan keputusannya dengan mengulangi tuduhan lama AS dan Israel bahwa PA dan PLO telah gagal menolak ekstremisme, sembari mendorong “pengakuan sepihak” terhadap negara Palestina.
Pejabat Palestina menolak tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa perundingan yang dimediasi AS selama puluhan tahun telah gagal mengakhiri pendudukan Israel dan mengamankan negara Palestina yang merdeka.
“(Ini) demi kepentingan keamanan nasional kami untuk meminta pertanggungjawaban PLO dan PA atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen mereka, dan atas perusakan prospek perdamaian,” kata departemen tersebut.
Departemen Luar Negeri mengatakan bahwa misi Otoritas Palestina untuk PBB, yang terdiri dari para pejabat yang bermarkas permanen di sana, tidak akan dimasukkan dalam pembatasan tersebut.
Juru Bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan bahwa PBB akan membahas masalah visa dengan Departemen Luar Negeri.
Pada 1988, AS menolak mengeluarkan visa bagi pemimpin PLO Yasser Arafat. Majelis Umum PBB mengadakan pertemuan pada tahun itu di Jenewa, alih-alih di New York, agar beliau dapat hadir dan berbicara. Departemen Luar Negeri mengatakan pihaknya menuntut agar PA dan PLO “secara konsisten menolak terorisme,” termasuk serangan mematikan Hamas terhadap Israel pada Oktober 2023 yang memicu perang Gaza.
Pada Juni, Abbas menulis surat kepada presiden Prancis yang mengecam serangan Hamas dan meminta pembebasan sandera yang ditahan oleh kelompok militan tersebut.
Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar menyambut baik keputusan Departemen Luar Negeri tersebut.
Israel dan AS kecewa dengan beberapa sekutu Barat yang berjanji akan mengakui negara Palestina di PBB bulan depan.
Janji-janji tersebut mencerminkan rasa frustrasi atas serangan Israel di Gaza yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan memicu krisis kelaparan, serta kemarahan atas pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat yang dipandang sebagai jantung negara Palestina yang potensial.
Setidaknya 147 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui negara Palestina. Palestina memiliki status pengamat di PBB, sama seperti Takhta Suci (Vatikan). Palestina telah lama menginginkan negara di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki Israel, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. AS menyatakan bahwa negara Palestina hanya dapat didirikan melalui negosiasi langsung antara Israel dan Palestina.
(Rahman Asmardika)