JAKARTA – Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri, menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan PT Sarana Pembangunan Riau (SPR), yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi Riau periode 2010–2015.
Kedua tersangka tersebut yakni Rahman Akil, selaku Direktur Utama PT SPR periode 2010–2015, dan Debby Riaumasari, selaku Direktur Keuangan PT SPR pada periode yang sama.
“Berdasarkan hasil penyidikan yang telah dilakukan dan diperolehnya bukti yang cukup, penyidik menetapkan dua orang sebagai tersangka,” ujar Wadir Penindakan Kortas Tipidkor Polri Kombes Bhakti Eri Nurmansyah dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (21/10/2025).
Bhakti menjelaskan, perkara ini bermula ketika PT SPR — yang sebelumnya berbentuk perusahaan daerah — bertransformasi menjadi perseroan terbatas (PT). Pada 12 Mei 2010, melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa, Rahman Akil diangkat sebagai Direktur Utama dan Debby Riaumasari sebagai Direktur Keuangan PT SPR.
Sebelumnya, pada 15 Oktober 2009, PT SPR mendirikan anak perusahaan bernama PT SPR Langgak, yang menjalankan usaha di bidang pertambangan pada Blok Langgak, Lapangan Langgak, Cekungan Sumatera Tengah, Provinsi Riau.
“Pada 25 November 2009, Ditjen Migas Kementerian ESDM menerbitkan surat pemberitahuan penawaran langsung hasil kerja Langgak yang diajukan kepada Direktur Utama PT SPR dan Direktur Kingswood Capital Ltd (KCL),” jelas Bhakti.
Dalam surat tersebut, konsorsium PT SPR dan KCL ditetapkan sebagai pemenang penawaran langsung untuk mengelola blok wilayah kerja Langgak. Selanjutnya, pada 30 November 2009, kedua pihak menandatangani kontrak kerja sama atau Production Sharing Contract (PSC) dengan Kementerian ESDM untuk jangka waktu 20 tahun, berlaku efektif sejak April 2010 hingga 2030.
Bhakti menuturkan, kontrak kerja sama itu ditandatangani oleh pihak BP Migas, PT SPR, dan PT KCL. Dalam kasus ini, tersangka Rahman Akil dan Debby Riaumasari diduga telah melakukan sejumlah tindakan pengelolaan keuangan perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG), sehingga menimbulkan kerugian bagi PT SPR sebagai BUMD.
“Mereka diduga melakukan pengeluaran keuangan perusahaan yang tidak sesuai prinsip tata kelola yang baik, melaksanakan kegiatan tanpa analisis kebutuhan yang memadai, serta pengadaan yang tidak transparan dan tidak dilandasi itikad baik,” kata Bhakti.
Selain itu, keduanya juga diduga melakukan kesalahan atau kelalaian dalam pencatatan overlifting yang mengakibatkan kerugian perusahaan, serta tidak menerapkan tata kelola, perencanaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban keuangan secara semestinya.
“Berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP, ditemukan kerugian negara sebesar Rp33.296.257.959 dan USD 3.000,” tutup Bhakti.
(Awaludin)