JAKARTA - Ketua DPR RI, Puan Maharani menyatakan, keprihatinannya atas kasus 110 warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban penipuan daring (online scam) di Kamboja.
Ia menilai kejadian ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap pekerja Indonesia di luar negeri dan mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penempatan tenaga kerja migran.
“Kasus ini menjadi peringatan serius bagi kita semua bahwa kebutuhan ekonomi dan sempitnya kesempatan kerja yang aman di dalam negeri sering kali memaksa warga kita mengambil risiko tinggi berangkat kerja ke luar negeri,” kata Puan di Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Menurut Puan, persoalan tersebut tidak hanya berkaitan dengan perlindungan diplomatik, tetapi juga mencerminkan tekanan sosial dan ekonomi yang mendorong banyak warga mencari pekerjaan di luar negeri tanpa melalui mekanisme resmi.
“Negara harus hadir memastikan setiap warga mendapatkan akses pekerjaan yang manusiawi dan terlindungi, di mana pun mereka bekerja,” ujarnya.
Puan menegaskan, perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI) harus dimulai sejak tahap pra-keberangkatan, melalui pemberian informasi yang benar, pelatihan yang layak, dan penempatan yang terverifikasi. Ia meminta pemerintah memperkuat koordinasi antarinstansi, termasuk Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kementerian Luar Negeri, agar tidak ada lagi warga yang berangkat tanpa izin penempatan resmi.
Selain itu, Puan mendorong pembentukan sistem peringatan dini (early warning system) bagi pekerja migran Indonesia. Sistem ini diharapkan melibatkan kolaborasi antara Ditjen Imigrasi, aparat bandara, hingga maskapai penerbangan untuk memantau perjalanan mencurigakan ke negara-negara berisiko tinggi seperti Kamboja, Myanmar, dan Laos yang kerap menjadi pusat aktivitas penipuan daring dan kerja paksa.
“Lonjakan penerbangan ke negara yang tidak memiliki hubungan resmi penempatan pekerja migran juga harus menjadi perhatian. Pemerintah perlu membangun mekanisme deteksi dini di titik keberangkatan agar tidak ada lagi warga yang berangkat tanpa perlindungan negara,” tegasnya.
Puan juga mendukung langkah KBRI Phnom Penh dan BP2MI dalam mengevakuasi para korban, namun ia mengingatkan agar upaya tersebut tidak berhenti pada tahap penyelamatan semata.
“Pemerintah perlu memastikan pemulihan fisik, mental, dan sosial bagi para korban begitu mereka tiba di Indonesia, serta membuka akses ke pelatihan kerja dan program pemberdayaan ekonomi lokal,” katanya.
Lebih lanjut, Puan menilai akar persoalan migrasi nonprosedural harus dijawab melalui kebijakan penciptaan lapangan kerja produktif di dalam negeri, terutama di sektor padat karya, ekonomi kreatif, dan digital.
“Selama lapangan pekerjaan di dalam negeri belum cukup tersedia dan tidak memberikan rasa aman serta penghasilan yang layak, masyarakat kita akan terus mencari peluang di luar negeri meskipun risikonya tinggi,” ujarnya.
Ia juga mendorong pemerintah memperluas kemitraan publik-swasta (public-private partnership) dalam investasi tenaga kerja, memperkuat pelatihan vokasi, dan mempercepat pembangunan kawasan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja lokal.
“DPR akan terus menjalankan fungsi pengawasan secara intensif untuk memastikan pemerintah menindak tegas jaringan perekrut ilegal dan memperkuat diplomasi perlindungan bagi WNI di luar negeri,” pungkas Puan.
(Awaludin)