JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXII/2025 tidak melarang total polisi aktif menduduki jabatan di luar institusinya, selama jabatan tersebut sesuai tugas pokok dan fungsi serta merupakan penugasan Kapolri.
Ketua PBHI, Julius Ibrani mengatakan, pemberitaan yang menyebut seluruh anggota Polri harus ditarik pulang atau mengundurkan diri dari jabatan di luar kepolisian tidak tepat.
“Tersiar luas pemberitaan bahwa anggota Polri tidak lagi dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, yang artinya semua anggota Polri yang tidak bertugas di Polri itu harus ditarik mundur atau harus mengundurkan diri sebagai anggota dari kepolisian,” kata Julius di Jakarta, Minggu (16/11/2025).
Namun, menurut Julius, pemaknaan tersebut keliru jika melihat putusan, permohonan, dan risalah persidangan secara mendetail. Ia menegaskan bahwa makna putusan tidak seperti yang dipahami sebagian publik.
“Kalau kita membaca putusan, kemudian permohonan dan risalah persidangan secara mendetail, ternyata maknanya tidak demikian,” ujarnya.
Julius menjelaskan, frasa yang diuji dalam pasal tersebut terdapat pada Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”. Frasa inilah yang kemudian dinyatakan inkonstitusional.
Dia menerangkan, hakim menilai kata “atau” dalam frasa tersebut bersifat disjungtif sehingga menimbulkan multitafsir.
"Dengan kondisi demikian, maka dianggap dapat mengganggu netralitas dan independensi anggota Polri sehingga berpotensi terjadi konflik kepentingan antara tugas utama dan tugas di luar Polri, serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan," jelasnya.
MK menilai frasa tersebut membuka pilihan bebas dan tanpa batas, apakah polisi harus mundur atau tidak, bahkan ketika penugasannya dilakukan oleh Kapolri. Ruang penafsiran inilah yang dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum.
"Poin kunci putusan itu adalah bahwa norma ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ itu dianggap justru mengaburkan atau tidak memperjelas norma pada Pasal 28 ayat (3) sehingga menimbulkan multitafsir," ujar Julius.
Julius juga menguraikan pendapat berbeda para hakim MK dalam putusan tersebut.
Hakim Arsul Sani menyampaikan concurring opinion bahwa paradigma Polri sebagai alat negara memungkinkan polisi menduduki jabatan fungsional maupun struktural di luar institusi, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU TNI. Namun, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan Kapolri” dinilai Arsul memperluas penafsiran hingga menimbulkan ketidakjelasan batas jabatan yang memiliki sangkut paut dengan kepolisian.
Sementara dissenting opinion disampaikan Hakim Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah. Menurut mereka, norma pada pasal dan penjelasan merupakan satu kesatuan.
“Mereka mengatakan bahwa menduduki jabatan di luar institusi kepolisian harus mengundurkan diri, apabila tidak ada sangkut pautnya sama sekali atau tidak dilakukan berdasarkan penugasan Kapolri,” terang Julius.
Keduanya menilai bahwa sepanjang jabatan itu masih memiliki sangkut paut dengan tugas Polri dan merupakan penugasan Kapolri, maka tetap diperbolehkan.
Menanggapi pertanyaan apakah anggota Polri tetap dapat menjabat di luar institusinya sepanjang terkait tugas dan fungsi.
“Sepanjang masih sesuai UU ASN dan sesuai tugas pokok serta fungsi Polri.” tegasnya.
Terkait jabatan kepala lembaga seperti BNN atau BNPT yang saat ini dijabat perwira polisi aktif, Julius menegaskan bahwa putusan MK tidak berlaku mundur.
“Kalau itu mekanisme administrasi, putusan MK nggak berlaku mundur. SK anggota Polri dimulai sebelum putusan MK, artinya nggak bisa diberlakukan. Tunggu sampai selesai,” pungkasnya.
(Awaludin)