Kembalinya perayaan Natal terjadi meskipun penggerebekan dan serangan militer skala besar terus berlanjut di seluruh Tepi Barat yang diduduki. Bahkan, setelah gencatan senjata yang rapuh di Gaza, yang telah berulang kali dilanggar oleh pasukan Israel, diberlakukan pada Oktober.
Penggerebekan tersebut seringkali melibatkan penangkapan massal warga Palestina, penggeledahan rumah dan penghancuran, serta serangan fisik yang terkadang menyebabkan kematian.
Serangan pemukim Israel terhadap warga Palestina telah mencapai tingkat tertinggi sejak kantor kemanusiaan PBB mulai mencatat data pada 2006. Serangan tersebut melibatkan pembunuhan, pemukulan, dan penghancuran properti, seringkali di bawah perlindungan militer Israel.
Sebelumnya pada Rabu, lebih dari 570 pemukim Israel memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki di bawah perlindungan polisi, lapor kantor berita Palestina Wafa.
Warga Palestina mengatakan, serangan tersebut melanggar status quo yang telah lama berlaku yang mengatur situs tersuci ketiga dalam Islam.
Kabinet keamanan Israel juga telah menyetujui rencana untuk melegalkan 19 pemukiman ilegal di seluruh Tepi Barat, sebuah langkah yang menurut pejabat Palestina memperdalam proyek pencurian tanah dan rekayasa demografis yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Inggris, Kanada, Jerman, dan negara-negara lain mengutuk langkah tersebut pada Rabu.
“Kami menyerukan Israel untuk membatalkan keputusan ini, serta perluasan pemukiman,” demikian bunyi pernyataan bersama yang dirilis oleh Inggris, Belgia, Denmark, Prancis, Italia, Islandia, Irlandia, Jepang, Malta, Belanda, Norwegia, dan Spanyol.
“Kami mengingatkan tindakan sepihak seperti itu, sebagai bagian dari intensifikasi kebijakan pemukiman yang lebih luas di Tepi Barat, tidak hanya melanggar hukum internasional tetapi juga berisiko memicu ketidakstabilan,” tuturnya.
(Erha Aprili Ramadhoni)