BEKASI – MoU antara Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai pembuangan sampah Ibu Kota ke TPST Bantar Gebang ternyata banyak dilanggar oleh Pemprov DKI sejak pertama dibuat. Hal inilah yang membuat DPRD Kota Bekasi geram dan berencana memanggil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Sekretaris Komisi A DPRD Kota Bekasi, Solihin, mengatakan ada beberapa pelanggaran yang dilakukan DKI Jakarta dari isi perjanjian yang ada sejak 2009 hingga berakhir pada 2029 itu. Hampir sebagian besar perjanjian dalam MoU itu diabaikan Pemprov DKI.
"Sebagai fungsi pengawas sudah sepantasnya komisi A mengevaluasi isi perjanjian yang ternyata tidak berjalan sesuai yang tertuang dalam poin demi poin serta pasal per pasalnya," ungkap Solihin, Jumat (23/10/2015).
Menurut dia, sebagai bagian evaluasi yang dilakukan pihaknya, otomatis perlu tanggapan dan klarifikasi terkait pelanggaran tersebut kepada Pemprov DKI sebagai pihak yang bersangkutan.
"Dalam hal ini, DKI Jakarta sebagai pihak pertama yang dianggap melanggar isi perjanjian itu," ujarnya.
Adapun harapan yang diinginkan DPRD Kota Bekasi, kata dia, meminta Ahok untuk mengklarifikasi pelanggaran yang ada.
"Dia (Ahok) pucuk Pemerintah DKI, jadi lebih kompeten dalam menangani masalah pelanggaran dilakukan pihaknya," katanya.
Meski demikian, dirinya amat meyayangkan sikap Ahok yang harus sampai membuat penyataan di media terkait pemanggilannya sampai mengancam warga Bekasi.
"Kami ingin Ahok datang duduk bersama, semata-mata untuk dimintai klarifikasi atas banyaknya pelanggaran tersebut. Bukan malah memberikan pernyataan di media massa dan menebar ancaman," jelasnya.
Pelanggaran yang dilakukan Pemprov DKI, di antaranya, apabila mengacu pada isi perjanjian kerjasama Pasal 4 dan 5 tentang Penerimaaan Tipping Fee Sesuai Tonase Sampah, Pemprov DKI jelas melanggar.
Dalam perjanjian telah disepakati per hari DKI Jakarta membuang sebanyak 5.000 ton sampah dengan kompensasi warga berhak mendapatkan uang senilai Rp210 ribu.
"Tapi faktanya kami temukan DKI Jakarta membuang sampah per harinya sudah mencapai 7.000 ton. Namun, tipping fee yang diterima tidak ditambahkan mereka," jelasnya.
Selain itu, pelanggaran lainnya ada pada angkutan sampah yang melintas sudah tidak sesuai jam operasionalnya. Melainkan, kata Solihin, truk sampah DKI bebas melintas melalui rute yang dilarang.
"Saat ini truk melintas di rute yang hanya boleh dilakukan pada jam yang telah disepakati yakni pukul 21.00 sampai 04.00 WIB. Selebihnya, mereka harus melewati jalur lain. Jalur lainnya yaitu Jalan Transyogi melalui alternatif Cibubur," jelasnya.
Tidak hanya itu, truk sampah DKI yang membawa sampah seharusnya bak tertutup, namun saat melewati wilayah Bekasi sejumlah truk sampah DKI Jakarta malah gunakan bak terbuka. Alhasil, aroma tidak sedap pun tercium ketika truk melintas di jalan dan lendir sampah juga kerap menetes di jalan tersebut.
"Pelanggaran ini jelas sangat berdampak negatif bagi warga sekitar maupun yang dilalui oleh truk mencemari udara yang dihirup warga," katanya.
Lebih jauh Solihin menyatakan, pelanggaran lainnya yang dilakukan DKI Jakarta ada pada lampiran kewajiban pihak pertama di nomor sembilan yang isinya DKI Jakarta mau menanam dan memelihara tanaman di dalam TPST dan membuat buffer zone sesuai ketentuan di sekelilingnya.
"Semua kesepakatan itu tak ada satu pun yang direalisasikan oleh pihak pertama (DKI Jakarta), dan itu sangat merugikan warga sekitar terkait yang mengaku air yang ada saat ini sudah tercemar alias tidak digunakan warga," terangnya.
Solihin mengungkapkan, saat ini akibat tidak adanya pertanggungjawaban Pemprov DKI dalam pengawasan sumber daya alam di Bantar Gebang. Khususnya, air tanah warga Bekasi sudah tidak lagi dikonsumsi lantaran telah tercemar air sampah.
"Warga di sana sekarang memilih menggunakan air galon untuk minum," ujarnya.
(Muhammad Sabarudin Rachmat (Okezone))