JAKARTA – Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai harga murah yang dipatok oleh perusahaan taksi berbasis aplikasi atau taksi online lantaran pemerintah tidak mengenakan pajak terhadap perusahaan tersebut.
“Sudah tak bayar pajak, kir kendaraan, asuransi, investasi pangkalan (pool) kendaraan,” ujar Djoko kepada Okezone, Rabu (23/3/2016).
Oleh karenanya, ia meminta kepada pemerintah dan beberapa pihak terkait agar menindak sopir taksi online saat beroperasi karena hal tersebut sudah melanggar Undang-Undang.
“Polisi juga harus bertindak, jangan diam saja atau lindungi angkutan umum plat hitam yang beroperasi di jalan raya. Wewenang polisi untuk menindak jika ada pelanggaran di jalan sesuai UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (LLAJ), bukan Dishub atau Kemenhub,” lanjutnya.
Lebih jauh lagi ia menjelaskan bahwa mahalnya tarif taksi konvesional salah satunya akibat pungutan liar dari beberapa oknum di pemerintahan saat akan mengoperasikan armadanya. Tujuh tahun lalu, kata Djoko, satu unit taksi untuk bisa beroperasi bisa dikenakan pungutan Rp10 juta.
“Lain halnya dengan angkutan umum beraplikasi, (mereka) tidak lakukan itu. Wajar jika murah tarifnya,” tuturnya.
Djoko menyarankan kepada pemerintah agar bisa menyelesaikan masalah tersebut karena terkait dengan masyarakat luas. “Negara harus hadir, jangan dibiarkan para pengusaha yang tidak taat aturan,” pungkasnya.
Seperti diketahui, ribuan taksi konvensional melakukan aksi unjuk rasa secara massal pada Selasa 22 Maret kemarin. Mereka menuntut pemerintah menutup aplikasi Grab dan Uber Taxi lantaran kedua perusahaan tersebut melanggar Undang-Undang.
(Rachmat Fahzry)