Gemohing dilakukan sambil berbalas pantun, bersyair dan menebak sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata. Setiap peserta gemohing wajib terlibat dalam berpantun, bersyair dan menebak. "Demikian indahnya kerja gemohing itu dan sangat menggambarkan nilai dan semangat kekeluargaan warga kampung," kata Frans Tokan.
Dalam gemohing, orang dewasa biasanya suka dengan syair-syair tua yang bernilai mistis magis. Kalangan anak muda lebih memilih berbalas pantun berisi tentang cinta. Adapun kegiatan menebak dilakukan semua golongan usia. Sambil berolah kata, pekerjaan jadi terasa ringan. Sering kali adu syair dalam gemohing digunakan untuk menguji kemampuan ilmu gaib.
Lawan yang tidak kuat bisa pusing mendadak, sakit perut, atau tidak sengaja melukai kaki tangan saat bekerja. Biasanya pria dewasa disuguhi minuman keras tradisional (tuak) guna memacu semangat bekerja dan bersyair. Adapun wanita menginang.
Lebih lanjut dia menuturkan, selain sebagai arena membantu warga lain, gemohing juga menjadi ajang mencari jodoh bagi kaum muda. Mereka bekerja sambil berbalas pantun, mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenis di gemohing.
Namun, semua peristiwa yang terjadi dalam gemohing tak boleh melahirkan rasa dendam, jengkel, atau cemburu. Jika ada yang dendam dengan lawan bicara, ia akan dikenai denda atau bahkan bisa dikeluarkan dari keanggotaan. "Mereka percaya bahwa Dewi Bumi tidak akan memberi hasil ladang yang banyak kalau terjadi kebencian, kemarahan, dan dendam di antara para pekerja," ungkapnya.
Pada umumnya peserta gemohing diberi makan oleh pemilik kebun, ladang, atau sawah. "Namun, kadang peserta membawa makanan sendiri untuk meringankan beban pemilik ladang apalagi jika pemilik ladang adalah warga yang kurang mampu," katanya.