Tahun Baru Imlek, Kekhawatiran Perempuan Asia saat Santap Bersama Keluarga

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Jum'at 12 Februari 2021 07:44 WIB
Tahun Baru Imlek (Foto: Reuters)
Share :

  • Takut dengan makanan

Stephanie ingat saat ibunya pulang suatu hari sambil membawa daftar gejala anoreksia dari Asosiasi Gangguan Makan Hong Kong.

"Kami duduk membicarakan daftar yang dibawa itu dan mencontreng semua kolom. Saya ingat perasaan kalem dan tidak menghakimi dari ibu saya," katanya.

Berkat bantuan ibunya, Stephanie akhirnya mendapat pertolongan. Selama "periode pengasupan lagi" dia tidak boleh olahraga.

Dia menggambarkan suka duka upayanya untuk pulih, termasuk kekambuhan yang dialami saat menempuh tahun pertama kuliah di Amerika Serikat.

Setelah sekian tahun mengatasi gangguan makan, Stephanie mengaku kini bisa mengatasi takut akan makanan saat kumpul-kumpul merayakan Tahun Baru Imlek.

"Saya kini tidak lagi mengalami situasi bila saya makan, maka harus olahraga lebih banyak lagi. Kini saya punya dukungan dari keluarga atas soal itu dan saya menikmatinya dan merasa senang. Ini bukan hanya soal makanan," jelasnya.

Riset yang dilakukan Stephanie membawanya pada kesimpulan bahwa banyak perempuan China yang masih menghadapi perjuangan berat saat menyesuaikan budaya Asia Timur dengan standar citra tubuh mereka.

"Salah seorang yang saya wawancarai mengungkapkan cerita yang biasa didengar saat tumbuh dewasa bahwa bila tidak menghabiskan nasi atau masih ada sisa nasi di mangkuk, kamu akan nikah dengan orang yang tidak bersih," kata Stephanie.

"Cerita-cerita seperti itu yang terkait dengan pola makan dan menanamkan rasa takut pada kita,” lanjutnya.

Namun, lanjut Stephanie, ini bukan hanya soal tekanan dari keluarga, media sosial pun punya andil. Dalam beberapa tahun terakhir di China bermunculan forum-forum online mengenai kebiasaan makan berlebihan lalu dimuntahkan (binging and purging).

Di forum-forum itu, ada perempuan yang berbagi "saran" soal bagaimana mengurangi berat badan dengan menjadi sakit sambil tetap makan yang berlebihan.

Lewat terapi dan studi secara mandiri, dia lalu mulai memahami lebih banyak mengenai gangguan makan yang diidapnya.

"Saya telah melekatkan makna yang emosional pada makanan saya," jelasnya.

Stephanie mendapatkan diagnosis dan menerima terapi tambahan saat belajar di AS. Namun, menurut kalangan profesional medis, di Asia masih kekurangan psikolog dan psikiater, sehingga banyak orang yang belum terdiagnosa atau menerima dukungan vital yang mereka perlukan.

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya