Saat putri Julia Yoon didiagnosis mengidap anoreksia, dia tidak mengira sampai tidak menyadari gejala-gejalanya. Ini membuat Julia menempuh pelatihan mandiri sebagai konselor gangguan makan di London untuk menolong perempuan muda yang mengalami masalah serupa. Bantuan itu dia rasa masih kurang di Korea Selatan.
"Banyak perempuan dia Korea Selatan yang masih belum mengetahui apa itu gangguan makan. Mereka merasa kebiasaan dietnya normal-normal saja, namun sebetulnya mereka idap anoreksia," katanya.
Julia kini memberi penjelasan di sekolah-sekolah untuk membangkitkan kesadaran seputar gangguan makan di kalangan konselor sekolah.
Dia pun baru-baru ini menerjemahkan sebuah buku berbahasa Inggris ke bahasa Korea mengenai cara orang tua menolong anak-anak mereka yang masih remaja untuk mengatasi gangguan makan.
"Seringkali orang tua menyalahkan diri dan buku ini justru membantu saya menyadari bagaimana bisa menolong putri saya, termasuk menunjukkan empati dan kesabaran," jelasnya.
Namun, bukan berarti prosesnya tidak berliku. Ada yang "menyakitkan" jelasnya.
Sebagai seorang ibu di Korsel, dia sadar betul tekanan yang dihadapi perempuan-perempuan muda. Namun, Julia tidak menyangka bahwa justru di sekolah tari putrinya muncul anjuran agar anaknya itu menurunkan berat badan.
Di suatu studio tari bernuansa kompetitif yang diikuti putrinya, dia selalu menimbang berat badan bersama sesama balerina. Mereka lalu disarankan hanya makan nasi merah tiga sendok saja tiap sarapan dan makan malam serta salad untuk makan siang.
"Kita cenderung mengidolakan standar kencantikan ala Barat," kata Julia.
Saat Julia berbicara dengan kepala sekolah tari itu, dia dibilang bahwa, "Gadis-gadis Korea lebih pendek, sehingga mereka perlu kurangi lebih banyak berat badan agar terlihat lebih tinggi seperti para penari di Barat."
Lima tahun kemudian, dia mengeluarkan putrinya dari studio itu, namun efek negatifnya sudah terjadi. Putrinya membatasi dietnya untuk sekian lama sehingga mulai makan secara berlebihan, yang juga termasuk gangguan makan, yang ditandai dengan hilangnya kendali pola makan dan merasa bersalah karenanya.
Sebagai orang tua, Julia merasa tidak berdaya karena kurangnya pakar yang ada di Korsel. "Kami hanya punya sedikit psikiater yang setahu saya benar-benar spesialis di bidang [gangguan makan] ini," ujarnya.
Saat diperiksa oleh psikiater, akhirnya diketahui putrinya mengidap anoreksia nervosa, sehingga mendapat pengobatan dan skema pola makan.
"Saya masih ingat kejadian itu. Saya dan suami duduk di sofa bersama putri kami yang sesenggukan di pangkuan kami sambil mengaku tidak punya tenaga lagi untuk berjalan dan berdiri, menangis minta tolong," ujar Julia.