MOSKOW – Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International telah mencabut penunjukan pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny sebagai "tahanan hati nurani" karena pernyataan xenofobia dan ujaran kebenciannya di masa lalu, yang tak pernah dia tarik.
Tahanan hati nurani adalah penyebutan yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang dipenjara karena ras, orientasi seksual, agama, atau pandangan politik mereka. Navalny baru-baru ini dipenjara atas tuduhan penggelapan dan pelanggaran penangguhan hukuman.
Navalny membantah tuduhan tersebut, menyebut penahanannya bermotif politik.
BACA JUGA: Tokoh Oposisi Rusia Alexei Navalny Divonis Lebih dari 2,5 Tahun Penjara
Amnesty menyatakan bahwa kelompok itu "tidak lagi dapat menganggap" Navalny sebagai tahanan hati nurani karena dia "menganjurkan kekerasan dan diskriminasi" dan tidak pernah mencabut pernyataan apa pun yang dia buat di masa lalu.
Meski begitu, mereka tetap percaya bahwa pemenjaraan terbaru Navalny terkait dengan aktivisme anti-pemerintahnya dan menuntut "pembebasan segera" pemimpin oposisi itu, demikian menurut pernyataan yang diterbitkan oleh jurnalis Grayzone, Aaron Mate.
New: @AmnestyUK withdraws designation of Navalny as a "prisoner of conscience." In email, Amnesty says it's "no longer able to consider Aleksei Navalny a prisoner of conscience given the fact that he advocated violence and discrimination and he has not retracted such statements." pic.twitter.com/E9m0e6lzT8
— Aaron Maté (@aaronjmate) February 23, 2021
Keputusan tersebut dikonfirmasi oleh manajer media Amnesty di Rusia dan Eurasia, Aleksandr Artemyev.
“Ya, kami tidak akan lagi menggunakan frasa 'tawanan hati nurani' ketika merujuk padanya, karena departemen hukum dan politik kami mempelajari pernyataan Navalny dari pertengahan 2000-an dan menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut memenuhi syarat sebagai ujaran kebencian,” kata Artemyev kepada Mediazona.
Namun, dia menambahkan bahwa organisasi tersebut akan melanjutkan seruannya untuk pembebasan segera karena menganggap penangkapan Navalny politis.
Fakta yang disebutkan Amnesty International mengacu pada kehidupan politik awal Navalny. Pada tahun 2000-an, jauh sebelum ia menjadi terkenal di dunia internasional, aktivis dan blogger itu terkait erat dengan kelompok sayap kanan Rusia dan menjadi wajah yang dikenal di 'March Rusia', sebuah gerakan ultranasionalis yang menyimpan pandangan xenofobia terhadap imigran serta orang-orang yang tinggal di wilayah Kaukasus selatan Rusia.
Saat itu dia juga mem-posting video di mana dia membandingkan Muslim Kaukasus dan migran dengan kecoak dan bahkan menyarankan untuk menggunakan “pistol” terhadap mereka dalam salah satu klip tersebut.
Belakangan, saat mencalonkan diri sebagai Wali Kota Moskow, dia secara signifikan mengurangi retorikanya tetapi tidak pernah benar-benar menyangkal pernyataan sebelumnya.
here is another video navalny is not keen to share anymore, in which he compares muslims to cockroaches and flies and recommends shooting them with guns if swatters and shoes failhttps://t.co/xf0yDtA4s5
— katya (@kazbek) January 19, 2021
Pada 2017, dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, dia mengatakan bahwa dia "tidak menyesal" tentang pernyataan masa lalunya dan menyebut perbandingan migran dengan kecoak sebagai "lisensi artistik". Pada Oktober lalu Navalny juga mengatakan kepada majalah Der Spiegel Jerman bahwa dia memiliki "pandangan yang sama" yang dia pegang saat terjun ke dunia politik.
Penahanan terbaru Navalny terkait dengan kasus 2014 ketika ia dinyatakan bersalah menggelapkan 30 juta rubel (sekira Rp5,5 miliar) dari dua perusahaan, termasuk merek kosmetik Prancis Yves Rocher. Saat itu, dia mendapat hukuman percobaan, yang kemudian dia langgar, sesuai dengan keputusan pengadilan terbaru. Dengan demikian, hukuman percobaannya diubah menjadi hukuman nyata.
Penangkapan Navalny pada Januari memicu protes di antara para pendukungnya di banyak kota Rusia dan menambah ketegangan pada hubungan yang sudah tegang antara Rusia dan Barat. Baru-baru ini para menteri luar negeri Uni Eropa setuju untuk menampar Rusia dengan sejumlah sanksi lain karena pemenjaraan tokoh oposisi tersebut.
(Rahman Asmardika)