Sebetulnya kata dia, persoalan ini tidak perlu terjadi jika semua pihak patuh hukum. Sebab, negara sudah membuat regulasi menengahi persoalan perkeriditan. Terutama perusahaan pembiayaan harus lebih paham soal peraturan yang dibuat pemerintah, sehingga tidak sewenang-wenang melakukan eksekusi barang yang jadi jaminan jika mengalami gagal bayar.
"Apalagi, di era digital seperti sekarang masyarakat awampun bisa belajar hukum di internet. Jadi masyarakat sudah tahu jika mengalami gagal bayar, barang jaminan kridit tidak bisa dieksekusi sewenang-wenang di jalan dengan melibatkan penagih utang," tutur pria 34 tahun yang bergelar sarjana hukum itu.
Undang-Undang Nomor 42/1999 tentang Jaminan Fidusia tidak memberikan kewenangan kepada kreditur untuk melakukan upaya paksa atau mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia secara paksa dari tangan debitur tanpa bantuan pihak berwenang seperti pengadilan atau kepolisian.
"Jika terjadi upaya penyitaan paksa terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia maka kriditur bisa melaporkan tindakan tersebut kepada kepolisian, bisa berupa peraporan pelanggaran pasal perlakuan tidak menyenangkan atau pasal perampasan," tuturnya.
Apalagi, kata Rivky, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang membahas tentang eksekusi jaminan fidusia. Di mana, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dengan memberi penafsiran terhadap frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, serta frasa cidera janji dalam Pasal 15 Ayat (2) dan (3) UU Jaminan Fidusia.
"Dalam putusan MK itu, eksekusi jaminan fidusia dilakukan saat adanya kesepakatan mengenai cidera janji dan kerelaan debitur untuk menyerahkan benda yang menjadi objek fidusia," jelas dia.
Apabila, tidak terdapat kesepakatan mengenai cidera janji dan debitur tidak menyerahkan objek jaminan secara sukarela, maka prosedur eksekusi jaminan fidusia dilakukan sama dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu dengan mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri.
"Selain itu, cidera janji juga tidak dapat ditentukan secara sepihak. Harus ada kesepakatan mengenai cidera janji/wanprestasi yang ditentukan oleh kedua belah pihak atau atas dasar upaya hukum (gugatan) yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah melakukan wanprestasi," tuturnya.
(Arief Setyadi )