Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah mengusulkan agar Iran dan pihak-pihak terkait langsung "sama-sama mematuhi" JCPOA, namun pemerintah Israel menentangnya.
Kesepakatan itu mencabut banyak hambatan banyak hambatan pada program nuklir Iran hingga 2025 dan tidak membatasi pengembangan rudal balistik Iran atau menghambat kelompok-kelompok milisi di Timur Tengah.
"Evaluasi saya pada posisi Iran adalah negara itu sebenarnya tidak mau mundur," kata Shine, yang kini mengepalai program kajian Iran di lembaga Institut Kajian Keamanan Nasional Israel.
"Yang mereka inginkan, tentunya, pengurangan sanksi-sanksi dan mereka paham bahwa mereka harus membayar sesuatu untuk mendapatkannya. Pertanyaannya, apakah perhitungan Iran—sejauh apa perekonomian mereka perlu bantuan?"
Shine mengkhawatirkan perundingan soal nuklir hanyalah cara bagi Iran untuk mengulur waktu, mengingat Iran masih mempertahankan mesin-mesin sentrifugal untuk terus berputar dan menumpuk cadangan uranium yang diperkaya.
Aksi-aksi rahasia
Alex Vatanka, peneliti veteran khusus Iran dari Institut Timur Tengah di Washington, menekankan komitmen ideologi Iran yang mendalam pada program nuklir mereka.
Dia meyakini Iran tidak ingin kembali ke JCPOA untuk meringankan beban ekonomi; dia justru melihat rangkaian tindakan dan tuntutan Iran sebagai sikap yang "memperkuat diri".
Vatanka menilai Iran sejatinya tidak menghendaki senjata nuklir.
"Jelas, (senjata nuklir) adalah opsi yang mereka ingin miliki, tapi ini bukan soal mempersenjatai," ujarnya.