BANDUNG – Belasan korban pemerkosaan Herry Wirawan oknum guru pesantren pimpinan Madani Boarding School, menuntut pelaku dihukum mati. Hal itu diungkapkan Yudi Kurnia, kuasa hukum belasan santriwati yang menjadi korban aksi bejat Herry di sela sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (21/12/2021).
"Korban menginginkan pelaku ini dijerat dengan hukuman mati," tegas Yudi.
Menurut Yudi, Herry layak dihukum mati sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak perubahan kedua. Aturan tersebut mengatur hukuman mati, termasuk hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan terhadap anak.
"Sementara jaksa menerapkan Undang-Undang Perlindungan Anak perubahan kesatu. Dalam perubahan kesatu enggak ada hukuman mati atau kebiri," jelasnya.
"Hanya ancaman 15 tahun dan di dalam Pasal 81 ayat 3 ada pemberatan karena pelaku adalah guru, jadi ancaman hukumannya 20 tahun," sambung Yudi.
Dia pun berharap, jaksa penuntut umum (JPU) mengubah tuntutannya dengan menerapkan Undang-Undang Perlindungan Anak perubahan kedua, agar tuntutan para korban dapat dikabulkan.
"Mudah-mudahan dalam tuntutan diterapkan itu," katanya.
Lebih lanjut Yudi pun menyinggung dugaan keterlibatan istri Herry dalam menutupi kasus pemerkosaan hingga korban melahirkan anak. Bahkan Yudi menduga adanya sindikat dalam kasus yang menyedot perhatian besar masyarakat ini.
Baca juga: Guru Pesantren Perkosa Belasan Santriwati, Sidang Digelar Virtual dan Tertutup
"Saya curiga dengan istrinya terdakwa. Istrinya pelaku tahu mereka hamil ada dua anak, tapi kok tidak melapor. Ini harus diperkarakan. Mungkin ini ada sindikat, dia tahu tapi ada pembiaran," kata Yudi.
Tidak hanya itu, tambah Herry, perekrutan para korban juga patut dicurigai. Pasalnya dilakukan oleh orang yang juga bagian dari keluarga Herry.
"Si Herry ini punya saudara yang di Garut, nah mereka mengajak mempromosikan itu. Ini yang harus dilacak, siapa orang ini," kata Yudi.
Herry juga mengungkapkan bahwa selain diperkosa, korban yang mayoritas masih anak-anak ini juga dipekerjakan untuk membuat proposal yang digunakan pelaku untuk mencari dana bantuan.
"Eksploitasi ini kayaknya luput dari penyidikan karena anak-anak ini dipekerjakan seperti membuat proposal, kan itu bagian tata usaha. Kalau dia sekolah yang benar itu, ada bagiannya dan proposal itu digunakan untuk mencari keuntungan, anak-anak ini kesehariannya lebih banyak untuk kerja-kerja seperti itu, ini sudah masuk eksploitasi," bebernya.