Secara keseluruhan, insiden itu mengakibatkan terbunuhnya 88 orang tak bersalah. "Setiap peristiwa besar telah memicu seruan untuk meningkatkan keamanan di sekolah masing-masing dan untuk mastikan individu di sekolah mereka bahwa anak-anak mereka tidak akan menjadi korban Columbine, Virginia Tech, atau Sandy Hook berikutnya," kata Cheryl Lero Jonson, seorang AS ahli penembakan di sekolah.
Menulis di jurnal Victims & Offenders, Jonson mengatakan bahwa, sebagai akibatnya, detektor logam, mesin X-ray, penjagaan dengan petugas bersenjata, dan staf yang diizinkan membawa senjata ke sekolah telah menjadi "hal yang umum".
Latihan yang 'traumatis'
Sekolah-sekolah AS juga telah terbiasa mempersiapkan diri terhadap aksi pembantaian. Ini berarti mereka semakin banyak melakukan hal-hal seperti latihan penilaian ancaman, merancang rencana tanggap darurat, dan memiliki tim krisis dan rencana respons penembakan yang selalu dalam status siaga, kata Jonson.
Salah satu kebijakan paling kontroversial adalah active shooter drill (latihan penyelamatan dari serangan senjata), yang sudah dilaksanakan di lebih dari 95% sekolah dasar AS, menurut organisasi Everytown for Gun Safety Support Fund.
Dalam beberapa kasus yang paling intens, "aksi penembakan palsu" itu melibatkan pria bertopeng yang membawa senjata mainan dan siswa yang berperan sebagai korban yang berlumuran darah palsu.
Dalam laporan tahun 2020, Everytown mengatakan "tidak ada penelitian" untuk mendukung efektivitas latihan semacam itu. Sementara itu, bukti menunjukkan bahwa latihan ini sebenarnya bisa berbahaya bagi kesehatan mental.
Laporan itu mengutip orangtua yang mengatakan: "Anak TK saya terjebak di kamar mandi, sendirian, selama latihan dan menghabiskan satu tahun dalam terapi untuk gangguan kecemasan ekstrem.
"Bahkan di sekolah baru, dia masih harus menggunakan kamar mandi di ruang perawat karena dia mengalami PTSD (gangguan stres pasca trauma) dari kejadian itu."