PENEMBAKAN di sekolah Amerika Serikat (AS) secara tak mengenakkan terasa familiar. Namun, situasinya tak akan pernah kembali seperti semula begitu kehebohan media tentang insiden itu berakhir.
Dalam insiden terbaru, Salvador Ramos, remaja laki-laki berusia 18 tahun, melepaskan tembakan di sebuah sekolah dasar di Texas, menewaskan 19 anak dan dua guru.
Sekolah Dasar Robb mendidik anak-anak berusia antara tujuh dan 10 tahun. Ramos secara membabi-buta melakukan serangan dengan bersenjata lengkap, beserta pistol, senapan otomatis dan magasin berkapasitas tinggi.
Remaja itu akhirnya ditembak mati oleh seorang petugas polisi perbatasan yang berada di sekitar lokasi pada saat insiden penembakan terjadi. Namun, bagaimana aksi kekerasan seperti itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari para siswa di sekolah-sekolah AS - juga para guru dan orangtua?
Sekolah layaknya benteng berpenjaga
Pembantaian di sekolah dapat dipahami menuai kecaman publik dan desakan langkah-langkah untuk mengamankan sekolah.
Menyusul insiden di sekolah Robb di Texas, beberapa distrik sekolah mengatakan mereka akan meningkatkan penjagaan polisi di sekolah-sekolah pekan ini.
Hal serupa terjadi setelah insiden di sekolah menengah Columbine (1999), Universitas Virginia Tech (2007), sekolah dasar Sandy Hook (2012) dan sekolah menengah Parkland (2018).