Pemerintah AS juga mengidentifikasi dua tantangan strategis utama, yang pertama, persaingan antara negara-negara besar dalam membentuk tatanan global berikutnya seiring transisi dari era pascaperang dingin, di mana AS menjadi satu-satunya hegemoni. Yang kedua, bagaimana cara bekerja sama dengan sekutu maupun musuh untuk mengatasi masalah-masalah lintas negara, termasuk perubahan iklim, kerawanan pangan, penyakit menular, terorisme, kekurangan energi dan inflasi.
“Kita telah sampai pada titik di mana kita bisa dan harus mengatasi keduanya di bidang yang setara – persaingan geopolitik dan tantangan transnasional bersama. Untuk itulah kami membuat strategi yang sesuai dengan tujuan, baik untuk persaingan yang tidak bisa kami abaikan, maupun kerja sama global yang tanpanya kami tidak akan berhasil,” kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan, ketika menjabarkan NSS pada acara yang diadakan oleh Universitas Georgetown dan Center for a New American Security pada Rabu (12/10/2022).
Moskow dan Beijing dipilih sebagai “kekuatan otoriter revisionis” – aktor non-demokratis yang tujuannya adalah untuk mengubah tatanan dunia dan menimbulkan ancaman bagi perdamaian dan stabilitas internasional dengan “melancarkan atau mempersiapkan perang agresi” – merujuk pada invasi Rusia ke Ukraina dan penumpukan militer China di Laut China Selatan dan ancamannya terhadap Taiwan, mengingat China tidak mengesampingkan opsi invasi terhadap Taiwan yang dianggapnya sebagai provinsi yang membangkang.
Kedua negara itu juga dipilih karena “secara aktif merusak proses politik demokratis di negara-negara lain, memanfaatkan teknologi dan rantai pasokan untuk tindak pemaksaan dan penindasan, mengekspor model tatanan dunia yang tidak liberal.”
Stacie E. Goddard, yang mengajar politik kekuatan dunia di Wellesley College, Massachusetts, mengatakan NSS juga menekankan bahwa negara-negara demokrasi dan otokrasi tetap dapat bekerja sama.