Hakekat utama pembangunan perkotaan adalah pembangunan ruang yang berurusan dengan segalanya, uang, pengaruh, dan bahkan kekuasaan. Ketika dihadapkan dengan aspek keadilan maka yang akan beroperasi adalah mekanisme keadilan spasial yang tidak hanya terikat dengan distribusi ruang dan berbagai infrastruktur, akan tetapi juga terkait manfaat yang diterima, berikut dengan beban yang dipikul, terutama yang menyangkut dengan keuangan, sosial, dan lingkungan sebagai akibat dari kebijakan yang dibuat.
Ruang perkotaan, di mana saja di dunia adalah tempat di mana berbagai kepentingan bertemu, berkompetisi, berkoalisi,dan kalau perlu saling mengenyahkan. Para aktor yang terlibat tidak hanya preman kecil RT/RW, birokrat, tetapi juga ada mafia, pengusaha biasa, oligarki, elit kekuasaan, dan bahkan tak jarang berhulu di salah satu sudut istana.
Tak jarang sebagian besar “mesin politik” kota memerlukan bahan bakar untuk mampu beroperasi secara berkelanjutan. Tak heran jika mesin politik itu bersaudara kandung dengan “mesin uang” yang berpunca besar dari penguasaan ruang. Kasus pembangunan Jakarta, terutama pada dua era yang berdekatan- Anies dan era sebelumnya, adalah gambaran ideal tentang hal itu.
Mengapa tidak, lihat saja pembatalan kasus reklamasi teluk Jakarta oleh gubernur Anies, di mana ia berjuang keras seperti David melawan Goliath, yang pada awalnya menjadi tertawaan para penyembah kekuasaan. Tak heran yang ia hadapai adalah pemerintahan presiden Jokowi, sebagian pemangku kepentingan penguasa DKI sebelumnya, dan para oligarki properti.
Kalaulah hari ini Zulfan Lindan, tokoh “tak resmi” Partai Nasdem menyebutkan Anies sebagai “anti thesis” Jokowi, ia hanya memberitahu kebenaran apa adanya, meskipun terlambat. Pembatalan reklamasi Teluk Jakarta adalah sebuah momen penting pertama Anies menyandang status itu pada tahun 2018. Bagi Anies, ada masalah fundamental disana. Paling kurang ada isu hak kepemilikan lahan pemodal besar, ada marjinalisasi sekitar 30.000 keluarga yang hidupnya dari “ruang pesisir” secara serena-mena, dan ada penghancuran kawasan ekosistem pesişir Banten, dan Jawa Barat akibat urugan pasir laut untuk reklamasi itu.