Jalan Panjang Pelarangan Praktik Pembakaran Janda di India

Rahman Asmardika, Jurnalis
Senin 08 Mei 2023 16:35 WIB
Praktik sati, tradisi dimana janda dibakar hidup-hidup di atas kayu pembakaran suaminya. (Foto: Hulton Archive)
Share :

PADA Desember 1829, William Bentinck, gubernur jenderal Inggris pertama di negara koloni India, melarang sati. Ini adalah praktik Hindu kuno di mana seorang janda harus membakar diri di atas tumpukan kayu makam suaminya.

Bentinck, yang kala itu menjadi gubernur jenderal di Bengal, meminta pertimbangan dari 49 perwira senior tentara dan lima hakim.

Ia yakin bahwa sudah saatnya untuk “membersihkan noda kotor itu dari kepemimpinan Inggris”.

Peraturan yang dia keluarkan menyebut sati sebagai “praktik yang merusak martabat manusia” serta perbuatan "melanggar hukum dan jahat".

Menurut kebijakan itu, siapapun yang didakwa “membantu dan membiarkan” pembakaran seorang janda Hindu “baik secara sukarela dari pihak perempuan atau tidak” dapat dihukum atas pembunuhan.

Hal ini memberi wewenang pada kejaksaan untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap orang-orang yang didakwa memaksa atau membantu pembakaran janda yang “dalam keadaan tak sadar dan tidak memiliki kehendak bebas”.

Aturan yang ditetapkan Bentinck ini bahkan lebih tegas daripada cara pelarangan praktik sati secara bertahap yang direkomendasikan para pendukung reformasi di India.

Setelah kebijakan itu berlaku, 300 orang Hindu yang dipimpin oleh tokoh reformasi Raja Rammohun Roy, berterima kasih kepada Bentinck karena telah “menyelamatkan kami selamanya dari stigma negatif yang melekat pada kami sebagai pembunuh perempuan”.

Di sisi lain, umat Hindu Ortodoks menolak dan mengajukan petisi kepada Bentinck.

Mengutip kaum akademisi dan kitab-kitab, mereka berargumen bahwa sati bukanlah sebuah "kewajiban menurut agama". Namun Bentinck bergeming.

Para pemrotes kemudian mengajukan banding ke Dewan Penasihat, pengadilan tertinggi di koloni Inggris. Pada 1832, Dewan tetap menegakkan peraturan tersebut, dengan mengatakan sati adalah "pelanggaran besar terhadap masyarakat".

Upaya mengkriminalisasi adat 

“Penetapan aturan pada 1829 itu mungkin satu-satunya ketetapan selama 190 tahun di era kolonial Inggris, di mana legislasi sosial ditegakkan tanpa memberikan konsesi pada sentimen ortodoks,” tulis Manoj Mitta, penulis Caste Pride, buku yang meneliti sejarah hukum kasta di India, sebagaimana dilansir dari BBC Indonesia

Mitta juga mengatakan bahwa “lama sebelum Gandhi memberi tekanan moral terhadap Kerajaan Inggris, Bentinck menggunakan kekuatan yang sama untuk melawan pengaruh kasta dan gender yang melekat pada sati”. 

“Dengan mengkriminalisasi adat ini, yang begitu tercela dilakukan oleh warga negara koloni, Inggris berhasil meraih poin moral.”

Namun, pada 1837 hukum Bentinck dicabut oleh pemimpin Inggris lain, yakni Thomas Macaulay, penulis undang-undang hukum pidana India.

Dalam peraturan Macaulay, jika seseorang dapat memberikan bukti bahwa dia menyulut api atas permintaan sang janda, dia bisa bebas dari hukuman.

Dalam draf catatannya, perempuan yang membakar diri bisa saja termotivasi oleh "rasa kewajiban agama yang kuat, terkadang rasa kehormatan yang kuat".

Mitta menemukan bahwa "posisi simpatik" Macaulay terhadap sati memengaruhi pemimpin Inggris hingga beberapa dekade kemudian.

Menurut penulis itu, rancangan undang-undang Macaulay diangkat kembali setelah 1857 - ketika terjadi pemberontakan oleh umat asli Hindu dan prajurit Islam, yang dikenal dengan sepoy.

Perlawanan mereka atas kompeni Inggris India Timur itu karena ada isu bahwa peluru senjata Inggris dilumuri dengan lemak hewan yang dilarang oleh agama mereka.

Akibatnya, aturan Macaulay soal sati masuk ke dalam buku undang-undang "sesuai dengan strategi kolonial untuk menenangkan umat Hindu kasta tinggi yang merupakan kelompok dengan peranan utama" dalam pemberontakan.

Regulasi yang diterbitkan pada 1862 itu mencabut peraturan pidana yang mengatakan bahwa sati dapat digolongkan sebagai pembunuhan.

Peraturan itu juga membatalkan hukum pidana yang mengatakan pelaku sati dapat dihukum mati.

Itu juga berarti terdakwa bisa mengeklaim korban telah menyetujui hidupnya diakhiri pada pemakaman suaminya. Sehingga, perkara itu tergolong sebagai kasus bunuh diri, bukan pembunuhan.

Mitta menulis, keringanan yang diberikan pada kebijakan sati merupakan “respons terhadap keluhan terhadap keadaan sosial”.

Sebab, pelarangan sati berarti menegaskan undang-undang yang terbit pada 1850-an, agar orang-orang Hindu yang terbuang dan murtad dapat mewarisi properti keluarga.

Juga undang-undang lain yang terbit pada 1856 yang mengizinkan pernikahan kembali bagi semua janda.

Tetapi pemicu utama yang membuat aturan ringan itu diberlakukan adalah “amarah di kalangan Hindu kasta atas” yang murka mendengar laporan bahwa selongsong peluru telah diolesi lemak sapi.

'Penghargaan untuk kolonis' 

Sejak 1829 sampai 1862, di mata hukum, sati yang sebelumnya dianggap sebagai pembunuhan telah berubah menjadi tindakan bunuh diri. 

"Meskipun sudah jarang dipraktikkan sejak 1829, sati masih dihargai dan dihormati di beberapa daerah di India, terutama di kalangan kasta yang lebih tinggi," kata Mitta.

Pada 1913, dalam gerakan yang tak disangka-sangka, Motilal Nehru - pengacara sekaligus politikus yang bergabung dalam Kongres Nasional India dan berperan penting dalam kampanye kemerdekaan - hadir di persidangan untuk membela enam pria kasta tinggi dalam kasus sati di Uttar Pradesh. 

Para terdakwa mengeklaim bahwa api pada kayu pembakaran itu "menyala dengan sendirinya seperti mukjizat, berkat kesalehan sang janda".

Pada akhirnya, para hakim menolak teori ini dan menghukum terdakwa atas tindakan mendorong aksi bunuh diri. Dua dari enam pria itu dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun.

Lebih dari 70 tahun kemudian, kisah sati masih berlanjut.

Pada 1987 pemerintahan cicit Motilal Nehru, yakni Rajiv Gandhi, mengesahkan regulasi yang mengkriminalisasi tindakan apapun yang "memuliakan praktik" sati.

Orang yang mendukung, membenarkan, atau menyebarkan sati terancam penjara hingga tujuh tahun.

Undang-undang ini juga mengkategorisasi sati sebagai pembunuhan dan memberlakukan kembali hukuman mati bagi mereka yang mendukungnya.

Keputusan ini dibuat setelah muncul kemarahan masyarakat atas kasus sati terakhir yang dilaporkan di India, yang melibatkan seorang pengantin remaja bernama Roop Kanwar di sebuah desa kecil di negara bagian utara Rajasthan.

Kasus tersebut, ungkap Mitta, merupakan kasus sati ke-41 yang resmi dicatat sejak kemerdekaan India pada 1947.

Bahkan, pembukaan undang-undang Rajiv Gandhi mengutip peraturan Bentinck.

"Itu merupakan bentuk penghargaan, meskipun dengan enggan, oleh negara jajahan kepada mantan penjajahnya," kata Mitta.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya