Para ibu di Palestina menyeimbangkan kebutuhan layanan kesehatan mereka dengan tanggung jawab mengasuh anak-anak mereka, yang banyak di antara mereka terkena dampak trauma psikologis akibat perang.
Begitu banyak aspek keibuan, yang dahulu merupakan hal rutin, kini menjadi persoalan hidup atau mati.
“Setiap hari, seorang saudara perempuan dan seorang ibu, seorang perempuan kehilangan suaminya, ayahnya, saudara laki-lakinya. Inilah perempuan-perempuan Palestina. Inilah perempuan-perempuan Gaza,” terangnya.
“Kita berada di bawah kecaman, kematian, pembersihan etnis, ketidakadilan – di bawah ketidakadilan dunia, yang melihat dengan matanya apa yang terjadi dan diam,” lanjutnya.
Musleh adalah satu dari ratusan ribu perempuan di Gaza yang menghadapi krisis kesehatan yang menyedihkan, karena blokade total Israel terhadap jalur tersebut membatasi pasokan reproduksi penting, termasuk produk kehamilan, nifas dan menstruasi, serta kebutuhan dasar seperti air minum dan makanan.
Sementara itu, para ibu mengatakan bahwa mereka menghadapi kenyataan yang menyedihkan bahwa mereka tidak mempunyai cara untuk melindungi diri mereka sendiri, atau anak-anak mereka, dari pemboman tanpa henti Israel, yang melanda daerah pemukiman, rumah sakit dan sekolah.
Serangan udara Israel telah menewaskan sedikitnya 9.155 orang, menurut angka yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Palestina di Ramallah, yang diambil dari sumber di daerah kantong yang dikuasai Hamas. Menurut Kementerian Kesehatan, sebagian besar korban jiwa – 73% – adalah perempuan, anak-anak dan orang tua.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) mengatakan pemboman massal Israel terhadap wilayah sipil, perintah evakuasi dan blokade total terhadap wilayah tersebut merupakan kejahatan perang. Israel mengatakan pihaknya menargetkan operasi Hamas di Gaza, dan menambahkan bahwa kelompok militan tersebut “sengaja menanamkan asetnya di wilayah sipil” dan menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.