Bayi prematur membutuhkan inkubator, mesin pernapasan, dan pompa infus untuk pemulihannya, yang semuanya bergantung pada listrik.
“Tanpa hal-hal tersebut, bayi-bayi prematur tersebut tidak akan dapat bertahan hidup,” lanjutnya.
Haj-Hassan mengatakan beberapa rekannya di Gaza hanya memiliki akses terhadap 33 mililiter (sekitar 1,12 ons) air minum per hari – hanya sepersekian cangkir – dan memperingatkan bahwa persediaan air yang menipis menghambat kemampuan ibu untuk menyusui bayinya atau memberi mereka susu formula.
Dia menjelaskan terjadi wabah penyakit diare, dan infeksi saluran pernafasan termasuk pneumonia, karena orang-orang berlindung di tempat tinggal yang sempit.
Haj-Hassan mengatakan pemboman Israel telah memisahkan keluarga dan meningkatkan ketakutan akan kematian di kalangan anak-anak.
Dia mengatakan kepada CNN bahwa salah satu rekannya di Gaza menyampaikan cerita tentang seorang gadis yang berlari di depan mobil, sekitar dua minggu lalu.
“Saat ditanya alasannya, [anak itu] berkata, ‘Saya hanya ingin mati. Saya tidak bisa lagi mengatasi rasa takut akan kematian,’” tambah Haj-Hassan.
Dia mengatakan para pekerja medis menggunakan istilah anak yang terluka, tidak ada keluarga yang selamat, untuk menggambarkan anak-anak di Gaza yang menjadi yatim piatu akibat perang.
Pada Senin (30/10/2023), lembaga kemanusiaan CARE International melaporkan pasien hamil terpaksa menjalani operasi caesar darurat tanpa anestesi. Perempuan dapat dipulangkan dalam waktu tiga jam setelah melahirkan karena kurangnya kapasitas rumah sakit.
Hiba Tibi, direktur CARE Tepi Barat dan negara Gaza mengatakan kekurangan pangan menimbulkan ancaman terhadap kesehatan 283.000 anak di bawah usia lima tahun serta wanita hamil atau menyusui.
Amal, yang mengungsi dari rumahnya di Kota Gaza ke Khan Younis di selatan Jalur Gaza, sedang hamil sembilan bulan dan dengan gugup menunggu seperti apa kelahirannya.
“Bagaimana jika saya memerlukan operasi caesar? Bagaimana saya akan melahirkan? Tidak ada generator di rumah sakit. Bagaimana jika sisa daya padam? Yang lebih berbahaya dari ini adalah tidak adanya obat bius. Tidak ada layanan kesehatan di rumah sakit. Tidak ada sanitasi,” kata Amal, yang meminta CNN tidak menggunakan nama aslinya karena alasan keamanan.
Kekhawatiran mendesak berikutnya adalah bagaimana cara merawat anaknya. Stok air yang terbatas harus direbus di atas kayu atau gas lama agar dapat diminum.
“Beruntunglah jika mendapat ember berisi air,” lanjutnya.
“[Para ibu] memberikan bayinya susu dewasa. Mereka merebusnya. Atau (untuk memberi makan bayi), mereka menghancurkan biskuit dan menambahkan air ke dalamnya, lalu mengaduknya. Itu makanannya,” ujarnya.
Eman Bashir, 32, mengatakan sebagian besar anak-anak yang dia kenal, termasuk anaknya sendiri, “menderita diare dan muntah-muntah.” Ibu tiga anak ini juga berada di Khan Younis, dan telah mengungsi dari utara setelah ada perintah evakuasi dari tentara Israel.
Dia menambahkan bahwa dia pernah mendengar ada perempuan yang melahirkan di sekolah karena “kebanyakan rumah sakit tidak beroperasi.”
Dari kesehatan seksual hingga menstruasi, konflik ini berdampak pada seluruh aspek kesehatan perempuan.
International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada Senin (30/10/2023) mengatakan persediaan produk kontrasepsi terbatas.
Heather Barr, Direktur asosiasi divisi hak-hak perempuan di Human Rights Watch (HRW) mengatakan kepada CNN, salah satu konsekuensi dari tidak terpenuhinya kebutuhan akan pasokan kontrasepsi adalah kehamilan yang tidak diinginkan.
Barr memperingatkan bahwa dalam situasi krisis, tingkat kekerasan seksual kemungkinan akan meningkat karena ada perasaan impunitas.
“Perempuan butuh produk sanitasi, mereka butuh pembalut, mereka butuh obat penghilang rasa sakit. Perempuan sangat kesakitan, mereka tidur di lantai, tanpa kasur,” kata Bashir, ibu berusia 32 tahun, kepada CNN.
“Sebagian besar apotek berhenti bekerja,” lanjutnya.
“Bahkan pil (yang digunakan perempuan untuk menghentikan menstruasi) saja tidak lagi cukup,” ujarnya.
“Kita sudah mulai mengalami kemunduran ke masa lalu, di mana perempuan menggunakan potongan kain (saat menstruasi). Perempuan tidak bisa menghindari menstruasi bulanan mereka dalam situasi ini,” teragnya.
Amal, warga pengungsi Khan Younis, mengaku pernah mendengar banyak perempuan menggunakan pil KB untuk menghentikan atau mengurangi aliran darah saat menstruasi. Mereka yang tidak melakukannya, menggunakan cara lama.
Beberapa pekerja bantuan mengatakan para pengungsi perempuan kemungkinan besar tinggal di kamp-kamp yang tidak memiliki toilet yang bersih dan aman, serta berkurangnya akses terhadap air mengalir dan privasi yang dapat menyebabkan penyebaran infeksi, termasuk sariawan, hepatitis B, dan sindrom syok toksik.
Nesma ElFar, Direktur komersial MotherBeing, mengatakan bahwa platform kesehatan yang berbasis di Kairo bekerja sama dengan LSM Together For Tomorrow, untuk mengirimkan lebih dari 400.000 sumbangan produk sanitasi, termasuk pembalut, celana dalam yang dapat digunakan kembali, tisu basah dan popok, kepada warga sipil di Gaza.
Dia mengatakan kepada CNN bahwa dia menerima konfirmasi bahwa produk tersebut telah sampai di penyeberangan Rafah, namun tidak mengetahui kapan bantuan tersebut akan masuk ke Gaza.
(Susi Susanti)