Di Gaza, Menjadi Seorang Ibu Adalah Persoalan Hidup dan Mati

Susi Susanti, Jurnalis
Senin 06 November 2023 09:32 WIB
Di Gaza, menjadi seorang ibu adalah persoalan hidup dan mati (Foto: AFP)
Share :

GAZA – Rajaa Musleh, 50 tahun, telah berlindung di rumah sakit (RS) Al-Shifa, fasilitas medis terbesar di Gaza, yang tidak hanya dibanjiri oleh pasien, tetapi juga para pengungsi yang sangat berharap bahwa rumah sakit tersebut dapat memberikan perlindungan dari serangan udara brutal Israel.

Perwakilan Gaza untuk lembaga swadaya manusia (LSM) layanan kesehatan yang berbasis di Amerika Serikat (AS), MedGlobal, telah menerbangkan dirinya meninggalkan rumahnya di pantai utara jalur tersebut ke Al-Shifa setelah militer Israel menyatakan perang melawan Hamas sebagai tanggapan atas serangan teror mereka yang mematikan pada 7 Oktober lalu dan meminta warga sipil untuk mengevakuasi daerah tersebut sebagai persiapan operasi darat.

Kantor kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) OCHA pada Senin (30/10/2023) mengatakan lebih dari 1,4 juta orang menjadi pengungsi internal di Gaza.

Banyak warga sipil terpaksa mengungsi ke kamp pengungsi atau rumah sakit yang melebihi kapasitas, seringkali hidup dalam kondisi hidup yang tidak sehat.

Kompleks rumah sakit Al-Shifa, katanya, dipenuhi orang, banyak dari mereka adalah perempuan dan anak perempuan yang tidur di lantai rumah sakit dan di luar, tanpa akses terhadap layanan kesehatan fisik atau mental, air atau privasi.

“Perempuan tersebar di mana-mana, di seluruh rumah sakit,” kata Musleh, perempuan berusia 50 tahun yang mengungsi di Al-Shifa.

“Saya pribadi, tidak bisa pergi ke kamar mandi lebih dari dua kali sehari di tengah keramaian,” lanjutnya.

“Beberapa orang beruntung jika mereka mendapat kesempatan untuk menggunakan kamar mandi dengan sekitar 40, 50 atau 60 orang yang perlu menggunakannya,” ujarnya.

Para ibu di Palestina menyeimbangkan kebutuhan layanan kesehatan mereka dengan tanggung jawab mengasuh anak-anak mereka, yang banyak di antara mereka terkena dampak trauma psikologis akibat perang.

Begitu banyak aspek keibuan, yang dahulu merupakan hal rutin, kini menjadi persoalan hidup atau mati.

“Setiap hari, seorang saudara perempuan dan seorang ibu, seorang perempuan kehilangan suaminya, ayahnya, saudara laki-lakinya. Inilah perempuan-perempuan Palestina. Inilah perempuan-perempuan Gaza,” terangnya.

“Kita berada di bawah kecaman, kematian, pembersihan etnis, ketidakadilan – di bawah ketidakadilan dunia, yang melihat dengan matanya apa yang terjadi dan diam,” lanjutnya.

Musleh adalah satu dari ratusan ribu perempuan di Gaza yang menghadapi krisis kesehatan yang menyedihkan, karena blokade total Israel terhadap jalur tersebut membatasi pasokan reproduksi penting, termasuk produk kehamilan, nifas dan menstruasi, serta kebutuhan dasar seperti air minum dan makanan.

Sementara itu, para ibu mengatakan bahwa mereka menghadapi kenyataan yang menyedihkan bahwa mereka tidak mempunyai cara untuk melindungi diri mereka sendiri, atau anak-anak mereka, dari pemboman tanpa henti Israel, yang melanda daerah pemukiman, rumah sakit dan sekolah.

Serangan udara Israel telah menewaskan sedikitnya 9.155 orang, menurut angka yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Palestina di Ramallah, yang diambil dari sumber di daerah kantong yang dikuasai Hamas. Menurut Kementerian Kesehatan, sebagian besar korban jiwa – 73% – adalah perempuan, anak-anak dan orang tua.

Kelompok hak asasi manusia (HAM) mengatakan pemboman massal Israel terhadap wilayah sipil, perintah evakuasi dan blokade total terhadap wilayah tersebut merupakan kejahatan perang. Israel mengatakan pihaknya menargetkan operasi Hamas di Gaza, dan menambahkan bahwa kelompok militan tersebut “sengaja menanamkan asetnya di wilayah sipil” dan menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.

Reham Ahmed Al-Sadi sangat ingin memiliki bayi perempuan. Kini, setelah hamil sembilan bulan anak keduanya, dia bersiap untuk melahirkan di zona perang, sambil berusaha menjaga keluarganya tetap hidup.

Dalam pesan yang disampaikan kepada CNN oleh Lembaga Bantuan Medis Palestina, perempuan berusia 28 tahun itu mengatakan bahwa dia takut dengan segala aspek dalam proses melahirkan di tengah konflik yang berkecamuk.

“Dari menyiapkan perlengkapan bayi dan perlengkapan pasca melahirkan, pergi ke rumah sakit selama proses persalinan, dan meninggalkan rumah sakit dengan selamat setelah melahirkan,” terangnya.

“Perang menghancurkan kegembiraan saya atas kehamilan saya,” tambahnya.

Dr Tanya Haj-Hassan, seorang dokter perawatan intensif anak yang bekerja dengan Médecins Sans Frontières (MSF), juga dikenal sebagai Doctors Without Borders, mengatakan kekurangan air, makanan dan obat-obatan yang merajalela telah menyebabkan “longsoran penderitaan manusia” di rumah sakit di Gaza.

Staf medis di wilayah tersebut kehabisan persediaan penting termasuk kain kasa untuk perawatan luka dan fiksator eksternal, yang merupakan peniti dan batang yang diperlukan untuk bedah ortopedi.

Mereka terpaksa merawat korban yang terluka tanpa anestesi atau obat penghilang rasa sakit.

Rafah, satu-satunya perbatasan antara Gaza dan Mesir di mana warga Palestina atau bantuan dapat masuk dan keluar, tetap ditutup selama beberapa minggu pertama perang. Baru-baru ini sebagian dibuka untuk memungkinkan sejumlah kecil truk bantuan masuk – serta sejumlah warga Palestina dan warga asing yang terluka bisa keluar.

Kementerian Kesehatan Palestina pada Rabu (1/11/2023) mengatakan tanpa pasokan bahan bakar penting, dan pemboman yang terus berlanjut, hampir separuh rumah sakit kini tidak dapat beroperasi.

Pada saat stres berat, perempuan lebih mungkin mengalami keguguran atau melahirkan prematur, sehingga membahayakan “kelangsungan hidup bayinya,” kata Haj-Hassan. Berkurangnya pasokan listrik merupakan “hukuman mati” bagi pasien yang bergantung pada peralatan medis seperti ventilator, atau mesin dialisis.

Bayi prematur membutuhkan inkubator, mesin pernapasan, dan pompa infus untuk pemulihannya, yang semuanya bergantung pada listrik.

“Tanpa hal-hal tersebut, bayi-bayi prematur tersebut tidak akan dapat bertahan hidup,” lanjutnya.

Haj-Hassan mengatakan beberapa rekannya di Gaza hanya memiliki akses terhadap 33 mililiter (sekitar 1,12 ons) air minum per hari – hanya sepersekian cangkir – dan memperingatkan bahwa persediaan air yang menipis menghambat kemampuan ibu untuk menyusui bayinya atau memberi mereka susu formula.

Dia menjelaskan terjadi wabah penyakit diare, dan infeksi saluran pernafasan termasuk pneumonia, karena orang-orang berlindung di tempat tinggal yang sempit.

Haj-Hassan mengatakan pemboman Israel telah memisahkan keluarga dan meningkatkan ketakutan akan kematian di kalangan anak-anak.

Dia mengatakan kepada CNN bahwa salah satu rekannya di Gaza menyampaikan cerita tentang seorang gadis yang berlari di depan mobil, sekitar dua minggu lalu.

“Saat ditanya alasannya, [anak itu] berkata, ‘Saya hanya ingin mati. Saya tidak bisa lagi mengatasi rasa takut akan kematian,’” tambah Haj-Hassan.

Dia mengatakan para pekerja medis menggunakan istilah anak yang terluka, tidak ada keluarga yang selamat, untuk menggambarkan anak-anak di Gaza yang menjadi yatim piatu akibat perang.

Pada Senin (30/10/2023), lembaga kemanusiaan CARE International melaporkan pasien hamil terpaksa menjalani operasi caesar darurat tanpa anestesi. Perempuan dapat dipulangkan dalam waktu tiga jam setelah melahirkan karena kurangnya kapasitas rumah sakit.

Hiba Tibi, direktur CARE Tepi Barat dan negara Gaza mengatakan kekurangan pangan menimbulkan ancaman terhadap kesehatan 283.000 anak di bawah usia lima tahun serta wanita hamil atau menyusui.

Amal, yang mengungsi dari rumahnya di Kota Gaza ke Khan Younis di selatan Jalur Gaza, sedang hamil sembilan bulan dan dengan gugup menunggu seperti apa kelahirannya.

“Bagaimana jika saya memerlukan operasi caesar? Bagaimana saya akan melahirkan? Tidak ada generator di rumah sakit. Bagaimana jika sisa daya padam? Yang lebih berbahaya dari ini adalah tidak adanya obat bius. Tidak ada layanan kesehatan di rumah sakit. Tidak ada sanitasi,” kata Amal, yang meminta CNN tidak menggunakan nama aslinya karena alasan keamanan.

Kekhawatiran mendesak berikutnya adalah bagaimana cara merawat anaknya. Stok air yang terbatas harus direbus di atas kayu atau gas lama agar dapat diminum.

“Beruntunglah jika mendapat ember berisi air,” lanjutnya.

“[Para ibu] memberikan bayinya susu dewasa. Mereka merebusnya. Atau (untuk memberi makan bayi), mereka menghancurkan biskuit dan menambahkan air ke dalamnya, lalu mengaduknya. Itu makanannya,” ujarnya.

Eman Bashir, 32, mengatakan sebagian besar anak-anak yang dia kenal, termasuk anaknya sendiri, “menderita diare dan muntah-muntah.” Ibu tiga anak ini juga berada di Khan Younis, dan telah mengungsi dari utara setelah ada perintah evakuasi dari tentara Israel.

Dia menambahkan bahwa dia pernah mendengar ada perempuan yang melahirkan di sekolah karena “kebanyakan rumah sakit tidak beroperasi.”

Dari kesehatan seksual hingga menstruasi, konflik ini berdampak pada seluruh aspek kesehatan perempuan.

International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada Senin (30/10/2023) mengatakan persediaan produk kontrasepsi terbatas.

Heather Barr, Direktur asosiasi divisi hak-hak perempuan di Human Rights Watch (HRW) mengatakan kepada CNN, salah satu konsekuensi dari tidak terpenuhinya kebutuhan akan pasokan kontrasepsi adalah kehamilan yang tidak diinginkan.

Barr memperingatkan bahwa dalam situasi krisis, tingkat kekerasan seksual kemungkinan akan meningkat karena ada perasaan impunitas.

“Perempuan butuh produk sanitasi, mereka butuh pembalut, mereka butuh obat penghilang rasa sakit. Perempuan sangat kesakitan, mereka tidur di lantai, tanpa kasur,” kata Bashir, ibu berusia 32 tahun, kepada CNN.

“Sebagian besar apotek berhenti bekerja,” lanjutnya.

“Bahkan pil (yang digunakan perempuan untuk menghentikan menstruasi) saja tidak lagi cukup,” ujarnya.

“Kita sudah mulai mengalami kemunduran ke masa lalu, di mana perempuan menggunakan potongan kain (saat menstruasi). Perempuan tidak bisa menghindari menstruasi bulanan mereka dalam situasi ini,” teragnya.

Amal, warga pengungsi Khan Younis, mengaku pernah mendengar banyak perempuan menggunakan pil KB untuk menghentikan atau mengurangi aliran darah saat menstruasi. Mereka yang tidak melakukannya, menggunakan cara lama.

Beberapa pekerja bantuan mengatakan para pengungsi perempuan kemungkinan besar tinggal di kamp-kamp yang tidak memiliki toilet yang bersih dan aman, serta berkurangnya akses terhadap air mengalir dan privasi yang dapat menyebabkan penyebaran infeksi, termasuk sariawan, hepatitis B, dan sindrom syok toksik.

Nesma ElFar, Direktur komersial MotherBeing, mengatakan bahwa platform kesehatan yang berbasis di Kairo bekerja sama dengan LSM Together For Tomorrow, untuk mengirimkan lebih dari 400.000 sumbangan produk sanitasi, termasuk pembalut, celana dalam yang dapat digunakan kembali, tisu basah dan popok, kepada warga sipil di Gaza.

Dia mengatakan kepada CNN bahwa dia menerima konfirmasi bahwa produk tersebut telah sampai di penyeberangan Rafah, namun tidak mengetahui kapan bantuan tersebut akan masuk ke Gaza.

(Susi Susanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya