SUDAN - Semua sekolah telah diperintahkan untuk ditutup di Sudan Selatan, karena negara tersebut bersiap menghadapi gelombang panas yang suhunya bisa mencapai 45C (113F).
Pihak berwenang mengatakan anak-anak harus tinggal di dalam rumah dan cuaca ekstrem bisa berlangsung setidaknya selama dua minggu.
Warga di beberapa bagian ibu kota Juba berkeringat tanpa kipas angin listrik pada Senin (18/3/2024) karena panas yang memicu pemadaman listrik.
Jalan-jalan di Juba, yang dihuni lebih dari 400.000 orang, sebagian besar sepi pada sore hari ketika media lokal melaporkan suhu mencapai 41C (106F).
Menurut portal Perubahan Iklim Bank Dunia, Sudan Selatan masih terlalu dini untuk mengalami panas seperti ini. Suhu kerap melebihi 43C (109F) tetapi hanya pada bulan-bulan musim panas,
Anak-anak berseragam terlihat pulang kembali ke rumah mereka, setelah ditolak sekolah pada Senin (18/3/2024).
Kementerian Pendidikan, Kesehatan dan Lingkungan mengatakan pada Sabtu (16/3/2024) bahwa semua sekolah akan ditutup mulai Senin (18/3/2024) karena bahaya kesehatan serius yang ditimbulkan pada siswa.
Pernyataan kementerian tidak menyebutkan kapan sekolah akan dibuka kembali. Namun setelah pengarahan dengan pihak berwenang pada Senin (18/3/2024), dua guru mengatakan kepada BBC bahwa kelas mereka akan dilanjutkan pada 3 April mendatang.
Para pejabat pada Sabtu (16/4/2024) mengatakan kematian terkait dengan suhu panas yang berlebihan telah dilaporkan.
Badan amal medis MSF mengatakan kepada BBC bahwa mereka melihat adanya peningkatan jumlah pasien yang dirawat di salah satu rumah sakitnya sejak suhu mulai meningkat.
Warga Sudan Selatan, yang merdeka dari Sudan pada 2011 menjadikannya negara terbaru di dunia, menggambarkan kondisi yang sulit pada Senin 918/3/2024).
“Panas ini sangat serius dan sangat mempengaruhi pekerjaan kami,” kata Wadcon Savior Lazarus, yang menjalankan sebuah LSM nasional, kepada BBC.
“Karena panas ini, kami tidak bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kami datang ke kantor lebih awal dan pulang larut malam untuk menghindari panas,” lanjutnya.
"Saya minum banyak air agar saya tetap terhidrasi. Saya juga memakai pakaian tipis yang tidak menyerap panas, dan saya menghindari berjalan di bawah terik matahari,” terang warga Juba, Ayaa Winnie Eric.
Umat Islam, yang berjumlah sekitar 6,2% dari populasi negara itu, sangat terpukul karena banyak orang yang menjalankan Ramadhan, bulan puasa. Oleh karena itu mereka tidak diperbolehkan minum air atau cairan lainnya agar tetap terhidrasi sepanjang hari.
Sudan Selatan adalah negara terbaru di antara negara-negara Afrika yang mengalami suhu terik. Bahkan dalam banyak kasus, suhu panas yang memecahkan rekor.
El Niño, sebuah fenomena cuaca alami, telah menjadi faktor pendorong yang besar. Hal ini telah menyebabkan air menjadi sangat hangat di bagian timur Samudera Pasifik sehingga mengganggu pola cuaca global dan menaikkan suhu.
Namun, El Niño terjadi di tengah perubahan iklim yang lebih luas. Ahli meteorologi di seluruh dunia telah mendokumentasikan peningkatan jumlah suhu ekstrem, dan tahun 2023 menjadi tahun terpanas dalam sejarah dunia.
Sudan Selatan mungkin akan mengalami beberapa badai di wilayah selatannya pada minggu depan, yang mungkin akan memberikan sedikit kelegaan di tengah panas terik.
Dalam jangka panjang, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan kondisi negara ini akan lebih basah dari biasanya dalam beberapa bulan mendatang.
Meskipun hal ini akan mendinginkan suhu dan memberikan bantuan di daerah yang dilanda kekeringan, namun kondisi ini juga dapat menyebabkan banjir.
(Susi Susanti)