China Beli Tanah Dekat Kedubes AS dan Istana Presiden Picu Kekhawatiran di Korsel

Rahman Asmardika, Jurnalis
Kamis 29 Mei 2025 14:06 WIB
Ilustrasi.
Share :

JAKARTA - Kontroversi mencuat di Korea Selatan setelah pemerintah China ketahuan membeli lahan seluas 4.000 meter persegi yang berdekatan dengan berbagai objek strategis pemerintah. Langkah Beijing ini memicu pertanyaan mengenai motif di balik transaksi tersebut.

Dilansir The Hong Kong Post, Kamis, (29/5/2025) lahan tersebut terletak di Distrik Yongsan, tak jauh dari sejumlah situs penting seperti Kantor Presiden Korea Selatan, lokasi relokasi Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Camp Coiner, serta beberapa kediaman diplomatik di Hannam-dong.

Lokasi ini juga berdekatan dengan jalur kereta bawah tanah GTX-A, salah satu proyek infrastruktur besar di ibu kota.

Transaksi lahan ini tak pelak mengundang kekhawatiran karena tidak hanya menyangkut aspek geografis, tetapi juga potensi pengaruh dan kegiatan mata-mata. Kepemilikan lahan di dekat infrastruktur sensitif dapat memberikan akses, pengawasan, bahkan pengaruh yang potensial bagi Beijing.

Pada Desember 2018, pemerintah China membeli 11 bidang tanah di Itaewon-dong, Distrik Yongsan, dengan total luas 4.162 meter persegi senilai USD21,4 juta. Pembayaran akhir diselesaikan pada Juli 2019. Catatan registrasi tanah mencantumkan pembeli sebagai Republik Rakyat China, dan kepemilikannya tidak berubah sejak itu.

Hal lain yang mencurigakan adalah pemasangan kamera pengawas di lokasi tersebut tak lama setelah pembelian, meski hingga enam tahun berlalu belum ada pembangunan apa pun di atas lahan itu. Ketidakaktifan jangka panjang ini—diperparah dengan keberadaan kamera—memicu spekulasi mengenai tujuan sebenarnya dari akuisisi tersebut.

UU Pembatasan Kepemilikan Lahan

Sejumlah pakar juga menyoroti meningkatnya jumlah properti di Korea Selatan yang dimiliki warga negara China di bawah umur—fenomena yang tidak lazim mengingat warga Korea di bawah umur umumnya belum memiliki pendapatan untuk membeli properti.

 

Menurut kantor berita Chosun Daily, warga negara China kini menjadi kelompok pemilik properti asing terbesar di Korea Selatan. Jumlah mereka melonjak dari 54.320 orang pada 2020 menjadi 96.955 pada April 2024—peningkatan sebesar 78,5 persen. Porsi mereka dalam kepemilikan asing juga naik, dari 35,3 persen menjadi 41,6 persen.

Fenomena serupa terjadi di AS, di mana kepemilikan lahan oleh entitas asing—terutama yang berasal dari China—telah memicu perdebatan politik dan keresahan publik.

Data dari Departemen Pertanian AS menunjukkan bahwa investor asing terus membeli lahan pertanian. Di Nebraska, lahan pertanian milik asing meningkat lima kali lipat dalam satu dekade, dari 153.000 hektare pada 2014 menjadi 936.000 hektare pada 2023. Sementara di Oklahoma, kenaikan hampir mencapai empat kali lipat, dari 371.000 menjadi 1,8 juta hektare.

Lebih dari separuh negara bagian di AS telah memperkenalkan undang-undang untuk membatasi atau melarang kepemilikan lahan oleh pihak asing. Sejumlah rancangan undang-undang federal juga ditujukan untuk menargetkan perusahaan yang memiliki hubungan dengan pemerintah China.

Akuisisi Lahan oleh China

Menurut Investigate Midwest, perusahaan milik China kini menguasai lebih dari 277.000 hektare lahan pertanian AS—mayoritas dikuasai oleh korporasi seperti Syngenta Seeds, Smithfield Foods (perusahaan pengolah daging babi besar), dan sebuah perusahaan panel surya swasta.

Presiden Donald Trump dan Menteri Pertanian AS Brooke Rollins menyebut pembelian lahan oleh entitas China sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dan kedaulatan ekonomi. Meski kepemilikan lahan oleh China hanya mencakup sekitar 1 persen dari total lahan asing, para ahli memperingatkan bahwa lokasi strategis dari lahan-lahan tersebut jauh lebih penting dibandingkan skala kepemilikannya.

Ironisnya, strategi akuisisi lahan oleh China tidak terbatas pada Korea Selatan dan AS.

Proyek Jalur Pipa Minyak dan Gas Myanmar–China senilai USD2,5 miliar—proyek investasi asing langsung (FDI) terbesar China di Myanmar—menjadi contoh lain. Dalam pelaksanaannya, perusahaan milik negara China seperti China National Petroleum Corporation (CNPC), South East Asia Oil Pipeline Co. Ltd. (SEAOP), dan South East Asia Gas Pipeline Co. Ltd. (SEAGP) diketahui telah mengakuisisi lahan secara ilegal, melanggar hukum pertanahan Myanmar.

 

Proyek ini, yang membentang sejauh 793 kilometer dari Kyauk Phyu di Negara Bagian Rakhine hingga Nam Kham di perbatasan China, menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan mengganggu kehidupan petani setempat. Komite Pengawas Jalur Pipa Myanmar–China (MCPWC) menyatakan bahwa proyek tersebut penuh dengan masalah kompensasi yang tidak memadai, kurangnya transparansi, serta dampak sosial yang besar.

Di negara-negara tempat China berinvestasi, pola yang sama tampak jelas: memanfaatkan kesepakatan ekonomi untuk menguasai lahan-lahan strategis, sering kali dengan mengorbankan masyarakat lokal dan kepentingan nasional.

Menantang Kedaulatan

Gubernur Oklahoma Kevin Stitt pernah menyuarakan kekhawatiran soal pembelian lahan oleh entitas China untuk mendirikan ladang ganja—yang diduga memiliki motif tersembunyi.

Hal ini terjadi beberapa bulan setelah Angkatan Udara AS menembak jatuh balon mata-mata China di atas wilayah Amerika Utara. Menteri Pertahanan saat itu, Lloyd Austin, mengonfirmasi bahwa balon tersebut digunakan untuk memantau situs strategis AS.

Insiden balon mata-mata memicu kekhawatiran luas terkait keamanan nasional dan serangkaian respons legislatif. Selama tahun 2023 saja, anggota legislatif di 33 negara bagian AS mengajukan lebih dari 80 rancangan undang-undang yang melarang pemerintah China, entitas bisnisnya, bahkan warga negaranya membeli lahan pertanian atau lahan di dekat instalasi militer. Sebagian besar telah disahkan menjadi undang-undang, dan langkah serupa tengah dipertimbangkan di tingkat federal.

 

Di saat yang sama, China juga memperluas jejak militernya di Afrika, memanfaatkan minimnya perhatian media global dan kekuatan besar terhadap benua tersebut. Hal ini memungkinkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) membangun basis dan memperluas pengaruh dengan pengawasan internasional yang minim.

Akuisisi lahan oleh China di berbagai penjuru dunia dikhawatirkan memiliki tujuan lebih dari sekedar investasi, melainkan langkah strategis terhadap kedaulatan, keamanan, dan sistem hukum negara-negara tuan rumah. Ada laporan bahwa China kerap mengeksploitasi celah hukum, kelemahan ekonomi, dan kelengahan politik untuk mencapai agenda geopolitiknya dalam jangka panjang.

Pemerintah di berbagai negara tidak bisa lagi menganggap kepemilikan lahan asing sebagai isu sekunder. Ini adalah persoalan mendesak.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya