Laporan Media: Konsumsi Komoditas China Picu Deforestasi Global

Rahman Asmardika, Jurnalis
Selasa 16 September 2025 12:52 WIB
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)
Share :

Secara domestik, tantangan lingkungan di China juga terlihat dari kebijakan energinya. Walaupun gencar berinvestasi di sektor energi terbarukan, China tetap menjadi konsumen batu bara terbesar global, dengan komoditas ini menyusun hampir dua pertiga dari bauran energinya. Pendanaan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) juga menjadi sorotan karena dianggap kontras dengan retorika iklimnya.

Paralel dengan itu, isu-isu seperti polusi udara dan air, kontaminasi tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati muncul sebagai dampak dari urbanisasi, konversi lahan, dan ekspansi industri. Isu-isu ini dapat berdampak pada kesehatan publik, ketahanan pangan, dan stabilitas ekonomi. Sebuah laporan dari Council on Foreign Relations menyebutkan bahwa krisis lingkungan akibat industrialisasi telah menjadi sumber ketidakpuasan publik dan tantangan bagi legitimasi pemerintah.

BRI sendiri, meskipun dipromosikan sebagai wahana untuk pembangunan berkelanjutan, sering kali justru memperburuk kerusakan ekologis. Banyak proyek BRI melewati daerah-daerah yang sensitif secara ekologis, mengganggu habitat dan mengancam spesies langka. Meskipun China telah berjanji untuk membuat BRI lebih hijau dengan meningkatkan investasi energi terbarukan dan mewajibkan pelaporan ESG (Environment, Social, and Governance), investasi warisan pada batu bara dan minyak masih mendominasi di wilayah dengan pengawasan regulasi yang lemah. Skema debt-for-nature swaps (pertukaran utang dengan alam) dan kemitraan publik-swasta muncul sebagai mekanisme perbaikan, tetapi transparansi dan akuntabilitas masih sulit dicapai.

Kegagalan China untuk mengintegrasikan akuntansi berbasis konsumsi ke dalam janji iklimnya adalah sebuah kelalaian yang mencolok. Sebagai pembeli komoditas berisiko hutan terbesar di dunia, China memiliki pengaruh besar untuk membentuk kembali pasar global. Namun, tanpa komitmen yang mengikat untuk mengurangi emisi terselubung, klaim kepemimpinannya terdengar hampa. Efektivitas Perjanjian Paris bergantung pada kemampuan negara-negara untuk mengatasi tidak hanya emisi teritorial tetapi juga biaya lingkungan dari konsumsi mereka. Keengganan China untuk melakukannya merusak aksi iklim kolektif dan melemahkan kredibilitas kerangka kerja internasional.

 

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya