JAKARTA - Ledakan di SMAN 72 Jakarta beberapa waktu lalu memunculkan masalah serius mengenai kerentanan anak-anak dan remaja terhadap radikalisme di dunia maya.
Pakar terorisme Universitas Indonesia (UI), Zora A. Sukabdi, menyebut kerentanan psikologis hingga lemahnya dukungan emosional menjadi pintu masuk utama propaganda ekstrem di kalangan muda.
“Tuntutan hidup yang tinggi, serba cepat, serba sempurna, ditambah krisis-krisis pribadi membuat anak-anak mudah terpapar radikalisme di dunia maya. Ditambah lagi mereka tidak dibekali modal yang kuat seperti dukungan keluarga atau kasih sayang yang memadai,” kata Zora, Minggu (30/11/2025).
Menurut Zora, kelompok radikal memang aktif menyasar generasi muda dalam propaganda digital mereka. Anak-anak dan remaja, baik Gen Z hingga Gen Alpha, dianggap sebagai target ideal untuk regenerasi. “Mereka menyadari bahwa generasi tua sudah usang. Mereka butuh generasi baru yang lebih berani, lebih pintar, dan lebih cepat,” ujarnya.
“Jenis game, jam dan durasi bermain, serta materi yang mereka lihat, semua harus diperhatikan. Apakah penuh kekerasan? Siapa yang mereka ajak bicara? Apakah ada interaksi mencurigakan? Selain itu, literasi digital juga wajib diajarkan,” ucap Kepala Program Studi Kajian Terorisme UI itu.
Zora juga menilai pentingnya upaya preventif oleh lembaga negara seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari ideologi radikal di ruang digital. Menurut dia, edukasi dan pelatihan harus menjangkau akar rumput, bukan hanya forum resmi yang terbatas.
“BNPT perlu melakukan pelatihan pada guru, ASN, hingga ibu-ibu atau orang tua mengenai parenting, misalnya melalui Posyandu. Edukasi harus menyentuh akar rumput. Jadi, tidak melulu dilakukan di hotel atau tempat-tempat yang dianggap elite,” pungkasnya.
Sebelumnya, publik digemparkan oleh ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025. Terduga pelaku merupakan siswa sekolah itu. Ia disebut-sebut tertarik pada konten kekerasan dan hal-hal ekstrem. Ia juga belajar merakit bom berdasarkan tutorial di internet.
Adapun BNPT dan Densus 88 mengungkap sebanyak 110 anak berusia 10 hingga 18 tahun diduga direkrut oleh jaringan terorisme. Mereka tersebar di 23 provinsi di Indonesia dan mayoritas rekrutmen dilakukan secara online. BNPT pun mengidentifikasi tiga aktivitas utama jaringan terorisme di dunia maya, yakni propaganda, rekrutmen, dan pendanaan.
(Awaludin)