Ketika para srikandi hukum di negeri ini saling tikam terkait kasus PT. Masaro, sang pemiliknya, Anggoro Widjojo mungkin sedang enak-enakan tidur pulas di hotel berbintang di Singapura. Padahal ia adalah biang keladi terjadinya perseteruan itu. Jutaan rakyat Indonesia dan elite politik menjadi terpilah dalam kubu-kubu pendukung KPK di satu pihak, dan Polri serta Kejagung di pihak yang lain.
Negeri singa itu selama ini ibarat "surga" bagi para pelaku korupsi dari Indonesia. Penyebabnya adalah tidak adanya perjanjian ekstradisi antara dua Negara yang tidak saja bersahabat tetapi juga bertangga sangat dekat itu.
Karenanya hukum kita tidak bisa menjangkau penjarah uang rakyat yang melarikan diri ke Singapura.
Daripada kita terus-menerus berseteru dengan sesama anak bangsa sendiri, alangkah baiknya kalau kita mendesak para diplomat negeri ini untuk segera mengupayakan ditekennya perjanjian ekstradisi antara RI-Singapura. Karena jika tidak, kasus korupsi dan Singapura akan terus menjadi momok bagi bangsa ini untuk saling bertikai. Tanpa perjanjian ekstradisi, Singapura akan dengan mudah menebar benih perpecahan di negeri ini. Dan sebagai bangsa, ketahanan nasional kita menjadi terancam.
Kendati Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) ke-II tidak mengagendakan perjanjian ekstradisi dengan Singapura sebagai program prioritasnya namun fenomena sosial yang terjadi saat ini mudah-mudahan bisa menjadi "trigger" bagi KIB ke-II untuk mengagendakannya dalam program kerja 100 hari. Karena bagaimanapun juga, pemberantasan korupsi tidak bisa berjalan efektif tanpa kemauan politik yang kuat untuk menghilangkan semua kemudahan bagi para pelakunya, termasuk "menutup" Singapura sebagai tempat persembunyian para penjarah harta rakyat.
Gerry Setiawan
Jaringan Epistoholik Jakarta (JEJAK)
Jl. Kober Gang H. Ismail Condet-Jakarta Timur
[email protected]
(M Budi Santosa)