Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kata-Kata Kasar dalam Buku Pelajaran Bisa Jadi Bahan Ajar

Margaret Puspitarini , Jurnalis-Sabtu, 14 September 2013 |14:04 WIB
Kata-Kata Kasar dalam Buku Pelajaran Bisa Jadi Bahan Ajar
Ilustrasi: ist.
A
A
A

JAKARTA - Dalam penerapan kurikulum baru, terdapat beberapa kontroversi yang terjadi. Salah satunya penggunaan kata-kata yang dianggap kasar dalam buku Bahasa Indonesia untuk siswa SMP/MTs kelas VII.

Sejumlah pakar pun hadir di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) untuk berdiskusi mengenai persoalan tersebut. Mulai dari pakar semiotika politik Andik Yulianto hingga Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Isa Anshori.

Persoalan tersebut muncul karena sejumlah orangtua murid mengeluh adanya kata-kata kasar dalam buku setebal 226 halaman itu berupa bangsat, kurang ajar, dan bajingan. Kata-kata itu termuat di halaman lampiran dalam sebuah cerita pendek (cerpen) karya Muhammad Ali dengan judul Gerhana.

Keterangan dalam lampiran itu dinyatakan, cerpen berikut dapat dijadikan bahan untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Kata-kata itu pun kemudian dipersoalkan karena dinilai terlalu kasar dan kurang pas dibaca oleh siswa di tingkat SMP/MTs.

Isa Anshori mengemukakan, cerpen karangan Muhammad Ali itu sebagai karya sastra memang bagus. Masalahnya, apakah layak buku pegangan siswa yang digunakan secara nasional tersebut memuat kata-kata yang kurang patut didengar siswa.

"Ini buku siswa kelas VII SMP lho. Saya khawatir jika siswa terbiasa mendengar kata-kata yang kurang patut tersebut dan kemudian dimunculkan dalam buku teks nasional seolah-olah menjadi kata umpatan yang wajar didengar dan digunakan oleh siswa, bukankah pemerintah ingin mendidik karakter siswa?" ujar Isa, seperti dilansir oleh laman Unesa, Sabtu (14/9/2013).

Namun, menurut Andik Yulianto, sebenarnya teks naskah cerpen itu tidak terlalu bermasalah jika digunakan pada lampiran buku siswa SMP. Sebab, kata Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Unesa itu, pada dasarnya dalam karya sastra selalu ada nilai-nilai baik dan buruk. Keduanya bisa jadi bahan pelajaran bagi siswa.

"Dalam perspektif saya, kalau merunut alur dan isi ceritanya bisa jadi ini merupakan bentuk sindiran politis bahwa aparat kepolisian belum dapat sepenuhnya dicontoh tindak tanduknya," ungkap Andik.

Senada dengan pendapat Andik, di tempat terpisah pakar pendidikan sastra Indonesia Unesa Suyatno menjelaskan, ekspresi dalam karya sastra tidak bisa dibatasi. Di dalamnya selalu ada perilaku baik dan buruk yang ditokohkan pemerannya.

"Jadi sesungguhnya buku siswa yang merupakan dokumen mati itu harus selalu didampingi oleh guru sebagai penghidup dokumen itu untuk menjelaskan dan mengarahkan siswa dalam belajar tentang arti kehidupan melalui karya sastra. Di situlah peran guru menjadi penting karena sesungguhnya cerita apapun dapat menjadi pelajaran bagi siswa," imbuh Suyanto.

Dia menambahkan, Muhammad Ali adalah sastrawan tahun 1970-an yang hidup di Surabaya. Karya-karyanya selalu berlatar kaum melarat dan kelas paling bawah. Muhammad Ali juga dalam kondisi kekurangan. Dia selalu pindah rumah untuk sekadar kos atau kontrak.

"Tahun 1988-an, saya pernah ke rumah barunya di Perumnas Manukan, hadiah dari Walikota Surabaya, Muhaji Wijaya saat itu. Karena gembira punya rumah baru, setiap tamu disuruh mandi di kamar mandi rumahnya. Termasuk saya yang akan berwawancara saat itu juga disuruh mandi," kenangnya.

(Rifa Nadia Nurfuadah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement