Setelah situasi tawar-menawar mencair, barulah berhari-hari kemudian, atau tepatnya 7 Mei 1949, kesepakatan dicapai. Inti dari Perjanjian Roem-Roijen itu berisikan penghentian perang gerilya TNI, gencata senjata serta persetujuan membawa perundingan lebih lanjut ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Pada Perundingan Roem-Roijen ini pula, Sri Sultan H IX menegaskan bahwa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap bagian dari Republik Indonesia,: “Jogjakarta is de Republiek Indonesie (Yogyakarta adalah Republik Indonesia),”.
Dampak dari perjanjian ini adalah pengembalian Presiden Soekarno dan Wapres Hatta dari pengasingan ke Yogyakarta, Ibu Kota RI, serta gencatan senjata, yang dimulai di Pulau Jawa pada 11 Agustus, serta Sumatera 15 Agustus di tahun yang sama.
Perjanjian Roem-Roijen ini juga jadi batu pijakan Indonesia mendapati pengakuan dari Belanda, yang sayangnya, tak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945, melainkan pada 27 Desember 1949. Pengakuan yang sedianya masih sangat dipermasalahkan sampai saat ini.
(Randy Wirayudha)