Penyambutan
Beberapa hari setelah penyerangan, Bathily diberi kewarganegaraan Prancis secara langsung oleh Presiden Hollande. Hal tersebut menjadi yang diimpikannya sejak kecil saat dia dibesarkan di desa kecil di perbatasan Mali-Senegal.
Tetapi, Bathily mengabaikan penghargaan tertinggi Prancis Legion d’Honneur.
Dia kembali ke penyambutan dirinya di Mali, tempat dia ditawari menginap di hotel papan atas dan diundang Presiden Ibrahim Boubacar Keita.
Bathily mendirikan kelompok bantuan untuk menyediakan sarana dasar bagi desanya yang ditinggalkannya saat dia berusia 16 untuk mencari pekerjaan di Paris.
Namun, dia sebenarnya mengalami trauma untuk kembali ke Prancis. Dia kehilangan teman terdekatnya, Yohan Cohen –di salah satu dari empat yang dibunuh Coulibaly pada hari itu– dan beberapa hari kemudian, dia mendengar adik laki-lakinya Boubakar meninggal karena sakit berkepanjangan.
Selain itu, pengingat kematian akan ancaman teroris sepertinya memantapkan hidupnya.
Bathily hanya berada 300 meter dari tempat Bataclan di Paris ketika terjadi penyerangan pada 13 November.
"Saya lari seperti orang lain, tapi terjebak, dan saya tidak bisa pulang hingga pukul 05.00," kata dia.
Hanya sepakan setelahnya, ekstremis bersenjata menyerang Hotel Radisson Blu di Bamako, ibu kota Mali, yang ditempatinya selama kembali ke negara asalnya.
Meski begitu, Bathily tetap optimis. "Bukan teroris yang membunuh. Jika Tuhan memutuskan bahwa saya mati, maka saya akan mati, bukan teroris yang memutuskan."
Mendapat publikasi besar-besaran memberikan dia sejumlah manfaat, seperti diberi perumahan sosial baru dan pekerjaan di Balai Kota Paris.
Saat ini, dia sekolah dan bercita-cita menjadi guru. "Saya hanya meneruskan hidup, melanjutkan yang saya lakukan dulu," kata dia, "Kita harus menunjukkan kesetiakawanan, tetap bersatu, maka ada harapan," katanya, seperti dikutip dari AFP.
(Rahman Asmardika)