Kursus navigasi dijalaninya dengan ‘nyambi’ sebagai buruh pelabuhan, hingga akhirnya jadi kelasi rendahan di Koninklijke Paketvaart Maatschapij (KPM) atau Maskapai Pelayaran Belanda pada 1929, ketika usianya baru 18 tahun.
Hingga saat Jepang masuk Indonesia pada 1942, John Lie masih berlayar di atas kapal uap MV Tosari pengangkut karet milik KPM. Akan tetapi karena Pulau Jawa sudah tak lagi dipegang Hindia Belanda, perjalanan MV Tosari beralih ke Sri Lanka dan kemudian Bombay (kini Mumbai) di India.
Di India inilah John Lie mengenyam lebih banyak pengetahuan tentang kemiliteran di laut. Pasalnya, MV Tosari diikutkan jadi bagian dari armada logistik sekutu. Maka, jadilah John Lie masuk ke kancah Perang Dunia II di bawah naungan Royal Navy (AL Inggris).
Sebagaimana dikutip dari buku ‘Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia’ yang dituliskan Iwan Santosa, MV Tosari saat itu dimasukkan ke Satgas Logistik AL Inggris pada 1942 hingga 1944.
Sepanjang jadi bagian Satgas Logistik AL Inggris di Khoramshar (Iran), John Lie turut mempelajari berbagai ilmu baru. Mulai dari pengoperasian senjata, taktik perang laut, prosedur pengapalan logistik, hingga sistem komunikasi.
Pulang dan Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi
Ilmu-ilmu itu masih terus dipelajari John Lie sampai ‘ngelotok’ dalam perjalanan pulang dengan rute Khoramshar-Bombay-Kalkuta-Singapura-Jakarta pada Februari 1946 pasca-Perang Dunia II selesai.
Sepulangnya ke Indonesia yang sudah menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, John Lie berniat gabung ke laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Barian Lautan. Singkat kata, John Lie disarankan menghadap Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana III Mas Pardi di Yogyakarta.