Berbekal surat pengantar dan referensi dari KRIS dan Menteri Mr Alexander Andries (AA) Maramis, John Lie bisa bertemu KSAL dan sempat ditawari mau pangkat apa.
“John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak,” cetus Laksamana Mas Pardi. Dengan tegas, John Lie merespons: “Saya datang bukan untuik cari pangkat. Saya datang mau berjuang di medan laut karena hanya ini yang saya miliki, pengalaman dan pengetahuan laut sekadarnya,”.
Pada akhirnya pertemuan singkat itu membuahkan pangkat yang terbilang rendah buat John Lie. Hanya sekadar Matroos Deerde Klaas atau Kelasi III. John Lie kemudian mengajukan permohonan untuk ditempatkan di Pelabuhan Cilacap karena menganggap, pelabuhan itu strategis sebagai pintu belakang Pulau Jawa.
Permohonan itu dikabulkan dan setelah membenahi Pelabuhan Cilacap, John Lie memulai petualangannya sebagai penyelundup logistik dan senjata. Mengandalkan sebuah kapal cepat zonder (tanpa) senjata PPB 58LB “The Outlaw” dengan 15 anak buah, John Lie dalam kurun waktu 1946-1949.
Selama itu pula, John Lie tak pernah tertangkap dan sukses menembus blokade Belanda. Saking sulitnya disergap bagai belut oleh kapal-kapal perang Belanda mulai dari jenis korvet hingga destroyer (perusak), media Inggris BBC sempat tebar pujian dengan menjuluki The Outlaw sebagai “The Black Speedboat”.
Wilayah operasinya dimulai dari Aceh Timur, Penang (Malaysia), Phuket (Thailand), Rangoon (Myanmar), hingga Manila (Filipina). Pasokan berbagai jenis senjata, hingga bahkan pesawat angkut yang diselundupkan dari luar ke Indonesia, dianggap vital bagi keterlanjutan perlawanan di berbagai daerah.
Suatu ketika eks Menteri Agama RI Laksamana (Purn) Tarmizi Taher, pernah menyatakan: “Tanpa John Lie, sejarah Indonesia bisa berbeda sekali dengan yang kita tahu sekarang,”.