Dikutip dari buku ‘Pahlawan Nasional: Supriyadi’ yang dituliskan Ratnawati Anhar, Shodancho Soeprijadi memberontak karena tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat, terutama para romusha (pekerja paksa) akibat perlakuan Jepang.
Sebelum pemberontakan meletus, rapat rahasia digelar di Asrama Daidan Blitar, tepatnya di kamar Budancho Halir Mangkudijaya, dengan dihadiri Soeprijadi, Shodancho Muradi (Danton II Kompi III/Bantuan), serta dua anggota PETA lainnya. Pertemuan rahasia ini untuk lebih dulu menyepakati adanya pemberontakan.
“Bagaimana kalau kita mengadakan pemberontakan melawan tentara Jepang?” seru Soeprijadi dalam buku tersebut, yang kemudian dijawab “Setuju!” oleh rekan-rekannya.
Baru setelah beberapa kali rapat perencanaan pada 1944, mereka berencana mengatur strategi yang bahkan, sempat mencanangkan memancing pemberontakan pula di Daidan Tuban dan Bojonegoro.
Meletusnya Pemberontakan di Blitar
Februari 1945, peluru-peluru dan sejumlah granat sudah dibagikan. Susunan kelompok juga sudah dibentuk dengan dipimpin sendiri oleh Soeprijadi dengan komandan pertempurannya Muradi. Rencananya jika pemberontakan berhasil di Blitar, mereka akan segera bergerak ke Madiun, Tuban, dan Bojonegoro.
Kepada Bupati dan Kepala Kepolisian Blitar, Soeprijadi lebih dulu melakukan kontak dengan menyatakan sejumlah anggota PETA akan latihan besar-besaran dengan peluru tajam. Tujuannya agar rakyat sekitar tidak panik.