“Mobilisasi tentara Belanda (sukarela dan wajib militer) pada 1945-1946, itu ternyata pernah ada catatannya sekitar 4.000 tentara yang menolak dikirim ke Indonesia. Mereka tahu apa yang akan mereka hadapi, di mana mereka akan melawan orang-orang yang sudah merdeka,” imbuhnya.
Namun, lanjut Hendi Jo, para serdadu Belanda lainnya sudah jadi korban politik. Pemerintah Belanda pasca-Perang Dunia II pemikirannya sangat kapitalistik. Pemikiran tentang bagaimana caranya mereka bisa mendirikan koloni mereka lagi di Indonesia, setelah sempat hilang di zaman pendudukan Jepang (1942-1945).
“Kalaupun ada yang tetap dikirim, jadinya beberapa membelot. Seperti Poncke Princen. Dia bahkan berani membunuh teman-temannya sendiri (sesama orang Belanda ketika sudah bergabung ke TNI),” sambung Hendi lagi.
“Orang-orang Belanda yang dikirim ke sini, sama seperti kita. Punya hati dan nurani, punya sisi kemanusiaan juga. Cuma mereka jadi korban politik (pemerintah) Belanda,” ujarnya.
Bahwa memang serdadu Belanda beberapa kali tercatat pernah melakukan kejahatan dalam aksi-aksi mereka terhadap warga sipil. Seperti di Sulawesi Selatan, Bekasi, Padang, Rengat (Provinsi Riau) dan yang sempat bikin geger, Rawagede (Karawang).