Setelah terbunuhnya Presiden Al Ghasmi, Saleh ditunjuk sebagai anggota dewan kepresidenan sementara sebelum ditunjuk oleh parlemen untuk menjadi Presiden Yaman dan komandan angkatan bersenjata pada Juli 1978.
Meski diprediksi tidak akan lama memerintah, Saleh ternyata dapat bertahan dan mengonsolidasi kekuatannya di dalam partai berkuasa Kongres Rakyat Umum (GPC) dan membeli dukungan dari suku-suku yang terpecah di Yaman. Dengan dukungan tersebut, Saleh kembali terpilih pada 1982 dan 1988.
Screengrab video yang memperlihatkan jasad Ali Abdullah Saleh. (Foto: Middleeasteye)
Pada 1990 Saleh meraih pencapaian terbesar dalam kepresidenannya saat kesepakatan penyatuan dengan Republik Demokratik Rakyat Yaman atau yang dikenal dengan nama Yaman Selatan. Bagian selatan Yaman yang berhaluan komunis itu memilih untuk bersatu setelah runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin.
Penyatuan itu tidak bertahan terlalu lama, terutama dikarenakan ketimpangan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan yang didominasi pejabat Yaman Utara. Sekira empat tahun setelah unifikasi, pada 1994, perang sipil kembali pecah di Yaman dan Yaman Selatan kembali memisahkan diri.
Tetapi, Saleh tidak membuang waktu dan segera mengerahkan tentaranya untuk menghancurkan militer Yaman selatan dan mengembalikannya ke dalam Yaman yang bersatu.
Pemerintahan Saleh yang dipenuhi korupsi berakhir pada 2012 menyusul Arab Spring yang melanda wilayah Timur Tengah dan Afrika utara setahun sebelumnya.
Kegagalan Saleh sebagai presiden memicu protes selama berbulan-bulan sejak Januari 2011 di Ibu Kota Sanaa. Tindakan brutal yang diambil Saleh untuk menghentikan protes justru membuat para jenderalnya membelot dan berbalik melindungi para demonstran.
Setelah berbagai upaya dilakukan Saleh untuk mempertahankan kekuasaannya gagal, dia memutuskan untuk mengundurkan diri melalui kesepakatan yang diperantarai Arab Saudi. Dia menyerahkan kekuasaan pada wakilnya Abd Raboo Mansour Hadi sebagai ganti kekebalan atas tuntutan.