Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Hukuman Diperberat, Keluarga Nilai Vonis Tamin Sukardi Tak Adil

Wahyudi Aulia Siregar , Jurnalis-Jum'at, 16 November 2018 |23:05 WIB
Hukuman Diperberat, Keluarga Nilai Vonis Tamin Sukardi Tak Adil
Tamin Sukardi (Sindonews)
A
A
A

MEDAN - Majelis hakim pada Pengadilan Tinggi (PT) Medan telah memperberat vonis hukuman terhadap Tamin Sukardi, dari 6 tahun menjadi 8 tahun penjara. Pengusaha kenamaan Kota Medan itu divonis dalam kasus korupsi penjualan aset negara senilai Rp.132 miliar.

Keluarga Tamin Sukardi menilai keputusan itu sangat tidak adil. Apalagi hakim juga memerintahkan Tamin untuk membayar kerugian negara senilai Rp 132,4 miliar serta merampas seluruh aset tanah yang diperkarakan.

 Baca juga: Hukuman Pengusaha Tamin Sukardi Diperberat PT Jadi 8 Tahun Penjara

Adik ipar Tamin Sukardi, Iwan Samosir menyebutkan, putusan yang dijatuhkan hakim sarat dengan tekanan dan hanya mempertimbangkan fakta yang bertujuan untuk “menghabisi” Tamin, bukan memberi keadilan.

 https://img-z.okeinfo.net/library/images/2018/08/31/o4yydwqr3q6vviuvp0xt_20466.jpg

Menururnya, banyak fakta yang dikesampingkan oleh majelis Pengadilan Tinggi. Anehnya putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap mengenai tanah yang sudah dieksekusi dikesampingkan oleh majelis Pengadilan Tinggi Medan.

“Ini tidak adil dan tidak masuk akal sama sekali. Bagaimana mungkin ada putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung diabaikan dalam pengambilan putusan banding di tingkat Pengadilan Tinggi. Dengan keputusan seperti ini, bagaimana rakyat bisa tetap percaya dengan adanya penegakan hukum yang adil di negara kita ini,” kata Iwan, Jumat (16/11/2018)

 Baca juga: Kepala PN Medan Dipanggil KPK Terkait Suap Hakim Tipikor Merry Purba

Iwan juga menyoal kembali opini Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terhadap tanah yang diperkarakan sudah dinyatakan tidak ada ganti rugi, namun Kejaksaan Agung justru menetapkan Tamin Sukardi sebagai tersangka. Iwan mempertanyakan apakah hal ini tidak jadi dasar pertimbangan bagi majelis Pengadilan Tinggi untuk mengambil keputusan.

Kemudian, sebut Iwan, tidak ada satupun saksi atau alat bukti selama berlangsung persidangan di Pengadilan Negeri yang menunjukkan niat jahat Tamin. Justru sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa ahli waris pemegang alas hak tanah Helvetia yang melakukan gugatan terhadap PTPN-II.

Iwan menambahkan gugatan itu bukan karena disuruh Tamin Sukardi tapi karena marah setelah mengetahui PTPN-II menjual tanah ex-HGU tersebut kepada pihak ketiga yaitu pengusaha properti di Medan dengan berlindung di balik organisasi kemasyarakatan.

“Ini semua fakta, tapi kenapa diabaikan. Lantas, atas dasar apa putusan ini diambil. Tidak ada penjelasan kenapa semua poin pembelaan yang diajukan diabaikan oleh pihak majelis,"tandas Iwan.

 Baca juga: Hakim yang Vonis Meiliana Diperiksa KPK Terkait Suap Merry Purba

Perkara ini sendiir bermula pada 2002, ketika terdakwa Tamin Sukardi mengetahui dari koran bahwa 106 hektare lahan yang dipakai PTPN 2 (Persero) di Kebun Helvetia tidak diperpanjang hak guna usaha (HGU)-nya. Dia pun berniat menguasai lahan yang berada di Pasar IV Desa Helvetia, Labuhan Deli, Deli Serdang itu berbekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL).

Upaya itu dilakukan dengan Tasman Aminoto dan Misran Sasmita, mantan Karyawan PTPN 2, dan Sudarsono. Mereka membayar dan mengoordinasi sejumlah warga agar mengaku sebagai pewaris hak garap di lokasi tanah dengan dikuatkan dengan bukti 65 lembar SKTPPSL yang seolah-olah diterbitkan tahun 1954. Dengan menyerahkan KTP, warga dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektare.

Padahal, nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL bukanlah nama orang tua dari warga-warga itu. Mereka juga sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi itu.

Selanjutnya, warga juga dikoordinasi untuk datang ke notaris. Di sana mereka menandatangani bundel dokumen berkaitan dengan tanah itu.

 Baca juga: Hakim Merry Purba Bantah Terima Uang Suap, KPK: Sampaikan Saja ke Penyidik

Pada 2006, warga diakomodasi agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto (Alm) untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam di Deli Serdang.

Setiap selesai persidangan, warga juga singgah ke rumah Tamin di Jalan Thamrin Medan. Mereka diberi uang Rp 100.000-Rp 500.000 melalui Tasman Aminoto ataupun anaknya Endang.

Gugatan warga akhirnya dikabulkan pengadilan dan dikuatkan sampai Peninjauan Kembali (PK). Setelah putusan pengadilan tingkat pertama, pada 2007 Tasman Aminoto melepaskan hak atas tanah itu kepada Tamin Sukardi yang menggunakan PT Erni Putera Terari (Direktur Mustika Akbar) dengan ganti rugi Rp 7.000.000.000. Akta di bawah tangan kemudian didaftarkan ke Notaris Ika Asnika (waarmerking).

Kemudian, atas dasar akta di bawah tangan dan putusan tingkat pertama itu, pada 2011, PT Erni Putera Terari tanpa mengurus peralihan hak atas tanah itu dan tanpa melalui ketentuan UU Agraria, menjual 74 hektare dari 106 hektare lahan yang dikuasainya kepada Mujianto selaku Direktur PT Agung Cemara Reality sebesar Rp 236.250.000.000. Namun, Mujianto baru membayar sekitar Rp.132.468.197.742 kepada Tamin Sukardi. Sisanya akan dibayarkan setelah sertifikat tanah terbit.

 Baca juga: Hakim Merry Purba Merasa Jadi Korban Kasus Suap Pemulusan Perkara di PN Medan

PT Erni Putera Terari adalah milik anak-anak Tamin Sukardi. Namun Tamin yang menentukan traksaksi itu dan menerima pembayaran. Dia menjadi kuasa Mustika Akbar, Direktur Utama perusahaan itu.

Dalam persidangan, Mustika Akbar maupun Tamin tidak dapat membuktikan bahwa pembayaran berupa uang dan mobil yang telah diterima Tamin dari Mujianto, masuk dalam pembukuan perusahaan. Mobil Land Cruiser yang menjadi bagian pembayaran itu juga belum masuk menjadi aset perusahaan.

Masalahnya, status tanah yang menjadi objek jual beli antara PT Erni Putera Terari dengan PT Agung Cemara Reality masih tercatat sebagai tanah negara. Belum ada rekomendasi melepas hak negara dari Menteri BUMN yang membawahi PTPN2 atas aset itu.

Perkara ini kemudian bergulir ke Pengadilan Tipikor pada PN Medan. Senin (27/8), Tamin divonis bersalah dan dihukum 6 tahun penjara dan didenda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 132.468.197.742. Sementara lahan yang menjadi barang bukti dikembalikan ke PT Erni Putra Terari dan ke PT Agung Cemara Reality.

Putusan itu diwarnai dissenting opinion, karena salah seorang hakim, Merry Purba, berpendapat dakwaan tidak terbukti. Namun dia kalah suara dengan Ketua majelis hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dan hakim anggota I, Sontan Merauke Sinaga, yang menyatakan Tamin bersalah.

Pengadilan ini ternyata berujung pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Selasa 28 Agustus 2018, sehari setelah pembacaan putusan.

Ketiga hakim yang menyidangkan perkara ini sempat diamankan bersama Ketua PN Medan ketika itu Marsudin Nainggolan, namun hanya Merry Purba yang menjadi tersangka bersama seorang panitera Helpandi. Sementara dari pihak swasta KPK menetapkan Tamin Sukardi dan orang kepercayaannya, Hadi Setiawan, sebagai tersangka pemberi suap.

(Fakhri Rezy)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement