 
                Tema dalam debat pilpres ditentukan oleh KPU sebagai penyelenggara. Dari soal hukum, HAM, korupsi hingga soal ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi serta perdagangan dan industri. Jika tema-tema itu dikaitkan dengan instutusi kelembagaan negara, maka tema perempuan luput dari KPU padahal hingga saat ini menjadi isu strategis internasional.
Dalam debat masyarakat ingin mengetahui program dan argumentasi kuat sang calon terkait tema yang dibahas dan bukan terkesan saling serang dan menjatuhkan sesama kontestan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan jebakan baik berupa istilah yang tidak lazim atau menyerang pribadi orang.
Perdebatan wacana harus dibangun diatas landasan pemikiran genuine dan kontemplatif terhadap isu-isu strategis dan menjadi kebutuhan warga negara. Bukan sekedar ungkapan dan uraian kalimat tanpa arti tapi harus berisi penuh makna dan bahkan melalui kajian literasi mendalam.
Entah disengaja atau tidak, KPU telah lalai dan mengabaikan satu isu strategis internasional saat ini yang banyak diperbincangkan di muka bumi yakni soal perempuan. Lebih dari itu, KPU dapat dikatakan sedang mengidap penyakit bias gender, mendesain suatu program debat namun merugikan perempuan yang banyak mendapatkan perlakuan diskriminatif ditengah hegemoni sistem patriarki.
Dalam debat maupun kampanye politik selama perhelatan pemilu 2019 ini, pengamatan saya wacana pemberdayaan perempuan (women empowering) menghilang diruang publik, tak dipercakapkan juga tak didiskusikan secara ekstensif. Perempuan seolah kian dijauhkan dari politik, lembaga negara seperti KPU turut melakukan domestifikasi peran perempuan ke ruang sempit; sekedar kamar, dapur dan sumur.
Padahal isu perempuan telah menjadi mainstream issues bagi para pemimpin dunia dipelbagai forum internasional termasuk Indonesia. Domestifikasi ditentang dan dilawan, ruang gelanggang pengabdian perempuan dibuka selebar-lebarnya hingga menjelajah ke ruang angkasa sebagai astronot, seperti dicontohkan Valentina Vladimirovna Tereshkova, kosmonot pertama perempuan dengan tunggangan pesawat Vostok 6 1963.
Tereshkova telah meruntuhkan persepsi publik kaumnya bahkan perannya bukan sekedar rumahan, mengasuh anak dan melayani suami. Ia menunjukkan kepada dunia tentang eksistensi perempuan yang dapat berperan diluar kodratinya serta mengubah kultur konstruksi sosial bersifat stereotipe yang dibangun berdasarkan relasi sosial yang tidak adil (gender in equity) dan tidak setara (gender in equality).
Dalam politik, perempuan masih sering dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Di stigmatisasi sebagai makhluk yang tidak berdaya, tidak memiliki daya tarik dengan politik, tidak suka berdiskusi dan tahan berlama duduk dalam urusan politik. Persepsi demikian jelas menyudutkan perempuan dan bahkan menghalanginya dalam partisipasi politik dan pembangunan demokrasi.