 
                Konservatisme Pemikiran
KPU tampaknya tidak menimbang keberadaan perempuan dalam pilpres kali ini dengan jumlah pemilih terbesar lebih dari 96 juta dibandingkan dengan pemilih laki-laki dari total 192 juta daftar pemilih tetap (DPT) yang telah disyahkan dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi DPTHP-2 pada Desember 2018.
Komisioner KPU memang didominasi laki-laki dan hanya satu perempuan dari 7 jumlah anggota. Walau mayoritas laki-laki mestinya memiliki pemikiran dan kebijakan sensitif gender khususnya pemihakan terhadap kaum perempuan dalam pemilihan tema kampanye dan debat capres cawapres.
Demikian pula, tak terdengar parpol dan capres/cawapres dalam pelbagai lawatan ke daerah-daerah dan dalam kampanyenya saya belum mendengar bagaimana konsep tentang pemberdayaan perempuan dan akan diterapkan nya nanti. Semua terjebak pada hal-hal yang realis-pragmatis, tapi mengabaikan hal paradigmatik, ideologis dan futuristik.
Saya memercayai bahwa perempuan adalah tiang negara, darinya lahir generasi muda penerus pemimpin masa depan Indonesia. Dalam soal ini saja, muncul isu reproduksi perempuan, kesehatan, sanitasi, gizi dan bahkan soal kekerasan dalam rumah tangga. Belum soal pendidikan, ekonomi keluarga dan ketahanan nasional yang semuanya berkorelasi kuat dengan eksistensi perempuan.
Konstruksi sosial yang terbangun saat ini merugikan perempuan yang bercorak budaya patriarki bersifat maskulinisme. Karena hasil relasi dan persepsi sosial sehingga perlu dilawan melalui dekonstruksi pemikiran progresif dari para aktivis perempuan itu sendiri atau pegiat kesetaraan.
Hal bersifat kodrati seperti melahirkan tak perlu dipersoalkan tetapi merawat anak dan membesarkannya dalam kehidupan yang cukup sesuatu yang profan dan dapat didiskusikan dalam pembagian tugas domestik antara suami dan istri. Terlebih dalam peran sosial-politik kemasyarakatan sangat jauh terbuka perempuan mengambil peran penting dan strategis termasuk menduduki jabatan kenegaraan.
Konstitusi negara menjamin hak yang sama laki-laki dan perempuan dalam partisipasi pemerintahan dan sosial lainnya. Diskriminasi berdasarkan gender sangat dilarang, UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilu memberikan akses politik tanpa pembedaan jenis kelamin atau akibat relasi sosial dengan prinsip keadilan (gender equity).