Kondisi ini sungguh ironis mengingat potensi sumber daya alam Xinjiang yang melimpah, seperti hasil pertanian dan hortikultura berupa gandum, jagung, dan buah-buahan, serta hasil tambang berupa batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Wilayah Xinjiang yang berbatasan dengan 8 negara ini juga dilewati jalur pipa gas yang menyuplai kebutuhan gas negara-negara Asia Tengah dan Rusia.
Meski tidak semasif wilayah bagian timur, pemerintah China terus memberikan bantuan pendidikan, membangun infrastruktur, dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Uighur.
Hanya saja, kebebasan beragama masih menjadi kendala utama. Kebebasan untuk melaksanakan ibadah sangat dibatasi. Masjid-masjid dibangun, namun tidak digunakan rutin 5 kali sehari sebagaimana umat Islam di belahan bumi pada umumnya.
Dalam sebuah kunjungan ke Xinjiang pada pekan lalu, penulis melihat secara langsung salah satu tempat pelatihan kerja bagi kaum Uighur ini. Sebagian orang masuk dengan suka rela, namun sebagian besar lainnya dimasukkan secara paksa oleh pemerintah.
Mereka diajarkan berbagai keterampilan dan kecakapan kerja dan menetap di kamp tersebut selama 4 hingga 6 bulan. Yang menjadikannya berbeda adalah ketatnya pengawasan dan pelaksanaan ‘kurikulum’ khusus berupa program deradikalisasi. Bagian inilah yang dianggap bermasalah dan kerap disorot oleh dunia internasional, karena diduga kuat dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi,termasuk penyiksaan fisik dan psikologis.
Penghuni kamp memang tidak dipungut biaya, dari mulai tempat tinggal, makan, hingga pendidikan vokasi. Akan tetapi, mereka tidak diperkenankan melakukan ibadah. Tujuan utamanya adalah brainwashing, yaitu memisahkan akar budaya (bahasa, adat istiadat, dan agama) kaum minoritas untuk digantikan dengan kultur mayoritas bangsa China dan semangat patriotisme yang menuntut loyalitas terhadap negara.
Kontrol Pemerintah

Sejumlah investigator independen melaporkan bahwa pendekatan yang dilakukan China terhadap etnis minoritas di Xinjiang semakin mengkhawatirkan. Laporan terbaru yang dirilis oleh BBC mengungkapkan, bahwa Pemerintah China dengan sengaja memisahkan anak-anak Muslim di wilayah Xinjiang dari keluarga, agama, dan bahasa mereka.
Laporan ini menunjukkan bahwa selain dilakukan terhadap orang dewasa, upaya sistematis memisahkan orang Uighur dari akarnya dilakukan sejak usia belia. Pengawasan dan kontrol pemerintah yang ketat di Xinjiang mengakibatkan ruanggerak jurnalis maupun delegasi asing lain menjadi sangat terbatas.
Mereka diikuti 24 jam sehari, diawasi tiap gerak geriknya secara langsung maupun lewat kamera pengawas, sehingga mustahil untuk mendapatkan testimoni penghuni kamp di sana. Namun para eksil ini dapat ditemui di Turki, di mana puluhan orang di Istanbul menceritakan kisah anak-anak mereka yang kini hilang di kampung halaman mereka di Xinjiang.