Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Menyikapi Perkembangan Situasi Muslim Uighur di Xinjiang

Opini , Jurnalis-Rabu, 07 Agustus 2019 |16:19 WIB
Menyikapi Perkembangan Situasi Muslim Uighur di Xinjiang
Dave Akbarshah Fikarno (Foto: Ist)
A
A
A

Diperkirakan 35.000 orang Uighur tinggal di Turki, yang telah menjadi suaka bagi para eksil dari Xinjiang sejak 1960-an. Masyarakat Uighur sebagian besar adalah minoritas berbahasa Turki yang memiliki lebih banyak kesamaan bahasa dan budaya dengan orang Turki dibandingkan dengan mayoritas etnis Han di China.

Laporan lain yang dilakukan oleh peneliti asal Jerman, Dr Adrian Zenz menggambarkan ekspansi sekolah yang belum pernah terjadi sebelumnya di Xinjiang. Kampus-kampus diperbesar, asrama-asrama baru dibangun, dan kapasitasnya meningkat dalam skala besar.

Pada kurun 2017 saja, jumlah anak yang terdaftar di taman kanak-kanak di Xinjiang meningkat lebih dari 500.000 anak. Bocah-bocah Uighur dan minoritas Muslim lainnya, menurut catatan pemerintah, mencakup lebih dari 90% kenaikan itu.

Banyak sekolah dilengkapi dengan sistem pengawasan penuh, dipasangi kamera pengawas, alarm perimeter, dan pagar listrik bertegangan 10.000 Volt. Para siswa diwajibkan untuk menggunakan Bahasa Mandarin untuk berkomunikasi. Jika mereka berbicara bahasa lokal atau bahasa selain Mandarin, ada sistem hukuman poin yang menanti.

Menanti Solidaritas Indonesia

Muslim Uighur (BBC)

Pemerintah Indonesia tampak berhati-hati dalam menyikapi situasi di Xinjiang, sehingga memilih tidak menandatangani surat bernada dukungan, maupun kecaman kepada Dewan HAM dan Komisaris Tinggi HAM PBB atas kebijakan China.

Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia semestinya dapat mengambil peran yang lebih signifikan dan konkrit sebagaimana yang tengah dilakukan oleh Turki.

Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu pada akhir Juli lalu mengumumkan tengah bersiap untuk mengirim ‘tim pengamat’ ke Xinjiang. Turki dikenal sebagai satu-satunya negara Muslim yang secara konsisten bersikap kritis atas situasi di Xinjiang.

Pertalian sejarah dan budayaTurki dengan masyarakat Uighur menjadi salah satu faktor penting pijakan sikap Turki tersebut. Meski faktor ini tidak dimiliki oleh Indonesia, kita dapat menunjukkan sikap solidaritas dengan meyakinkan Beijing untuk menjauhi pendekatan tangan besi terhadap warga Uighur. Membatasi dan memutus akar budaya, tradisi, dan agama sebuah etnis bukanlah solusi yang bijak untuk memberantas radikalisme dan terorisme.

Bermodal pengalaman dalam program deradikalisasi dengan pendekatan yang lebih manusiawi, ditambah Islam moderat yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, kiranya dapat dijadikan role model bagi China dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat Uighur.

Oleh: Dave Akbarshah Fikarno, M.E.

Anggota Komisi I DPR RI – Fraksi Partai Golkar

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement