Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Gelora Robert Wolter Mongisidi: Biarkan Peluru Belanda Menembus Dadaku, Merdeka!

Subhan Sabu , Jurnalis-Sabtu, 10 Agustus 2019 |07:02 WIB
Gelora Robert Wolter Mongisidi: Biarkan Peluru Belanda Menembus Dadaku, Merdeka!
Patung Robert Wolter Mongisidi (Foto: Subhan Sabu/Okezone)
A
A
A

MANADO - 14 Februari tidak hanya diperingati sebagai hari kasih sayang. Di tanggal tersebut tepatnya 14 Februari1925 lahir seorang anak yang kelak menjadi pahlawan.

Bayi mungil yang lahir di pesisir pantai Desa Malalayang yang sekarang sudah menjadi bagian dari Kota Manado, Sulawesi Utara itu diberi nama Robert Wolter Mongisidi. Bote, panggilan kesayangannya merupakan anak ke tiga dari 11 bersaudara dari pasangan Petrus Mongisidi dan Lina Suawa.

Sejak kecil Bote tumbuh menjadi anak yang cerdas, pemberani, percaya diri, jujur dan pantang menyerah. Bote menempuh pendidikan HIS tahun 1931, kemudian ke Sekolah MULO Frater Don Bosco Manado dan berlanjut ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon serta Sekolah Guru Bahasa Jepang, yang akhirnya membawa dia sebagai guru Bahasa Jepang di Malalayang Liwutung dan Luwuk Banggai dalam usia muda 16 tahun.

"Kata opa saya, dari kecil bote termasuk berotak encer, pintar, disiplin dan suka belajar bela diri silat. Sepulang sekolah dari Don Bosco, dia singgah di lorong pencak (Jalan Sam Ratulangi) belajar silat di situ," ujar Yohan Mongisidi, keponakan dari Robert Wolter Mongisidi kepada Okezone, Jumat (9/8/2019).

Robert Wolter Mongisidi

Dari Luwuk, Sulawesi Tengah, Wolter menapaki kakinya di Makassar mengikuti kakaknya yang seorang anggota Polisi. Di tempat ini dia bersekolah di SNIP Nasional kelas III di tahun 1945. Namun di Makassar, dia merasa heran dan semakin tak kuasa menyaksikan kekejaman kaum penjajah padahal Indonesia sudah merdeka.

Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda).

"Kita sudah merdeka, 17 Agustus 1945, kenapa Belanda membonceng NICA," tanya Bote kepada Gubernur Sulawesi DR.G.S.S.J. Ratulangi yang waktu itu merupakan Gubernur provinsi Sulawesi pertama yang berkedudukan di Makassar.

Jiwa patriotismenya makin membara. Untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka pada tanggal 17 Juli 1946, diadakan konferensi di desa Rannaya. Dalam konferensi itu, dibentuk suatu induk organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi), terpilih sebagai Ketua Ranggong daeng rongo, Sekjen Wolter Monginsidi.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement