Sementara mengeluhkan kekalahannya dan meluncurkan gugatan hukum atas kemenangan Joe Biden, Trump dapat memilih untuk menjalankan aksi terakhirnya sebagai panglima tertinggi Amerika.
Ini bisa menjadi bencana bagi keamanan global, jika melibatkan penarikan pasukan dan diplomat Amerika di wilayah sensitif.
Pada Oktober misalnya, Trump men-tweet bahwa dia akan membawa 4.500 tentara AS di Afghanistan pulang untuk merayakan Natal.
Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengancam akan menutup kedutaan AS di Irak setelah pemboman roket berulang kali, yang menurutnya, oleh Iran.
Penarikan pejabat militer senior secara diam-diam, yang telah memberikan pengaruh yang menstabilkan di banyak negara Afrika, sedang berlangsung.
Menurut The Washington Post, penarikan pasukan AS dari Afghanistan bisa menyebabkan kemungkinan kembalinya Taliban dan perang saudara di negara itu.
Trump kemungkinan berusaha untuk membagikan bantuan, seperti yang dilakukan presiden pendahulunya ketika keluar dari Gedung Putih dan selama periode transisi yang tidak menentu.
Secara internasional, dia mungkin menyerah pada pendekatan dari sekutunya; Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, atas pencaplokan wilayah permukiman Tepi Barat Palestina.
The Washington Post menyatakan teman Trump lainnya, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman dapat mencari bantuan, yang selama ini ditentang Kongres AS.
China juga dapat memanfaatkan masa transisi dan bergerak di wilayah yang disengketakan, yakni Taiwan.
Sejauh bantuan mengalir, Trump telah menunjukkan selera untuk menyelamatkan orang dari catatan kriminal atau membebaskan mereka dari penjara dan dia bukan presiden pertama yang melakukannya.
Barack Obama, saat menjabat, memecahkan rekor dalam mengeluarkan grasi.