Peneliti ASEAN dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pandu Prayoga membenarkan sikap Hun Sen mendekati pemimpin junta Myanmar sebagai penyebab terbelahnya negara-negara ASEAN. Posisi ini bertolak belakang dengan posisi ASEAN tahun lalu yang mengecualikan Myanmar dalam semua pertemuan ASEAN. Kamboja, ujarnya, kemungkinan besar malah mengajak Myanmar untuk mengikuti setiap pertemuan ASEAN. Padahal jika pejabat Myanmar diundang dalam setiap pertemuan ASEAN, berarti organisasi regional ini telah mengakui junta sebagai pemerintahan yang sah di negara tersebut.
Pandu mengingatkan sikap Kamboja kali ini sama ketika negara itu menjabat Ketua ASEAN pada 2012, yakni tidak memasukkan isu Laut Cina Selatan dalam komunike bersama para pemimpin ASEAN.
"Sudah dibilang sejak awal, Desember 2021, Hun Sen sudah menegaskan dia akan menggunakan pendekatan berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Brunei Darussalam," ujarnya.
Jika Hun Sen tetap pada pendiriannya, menurut Pandu, peluang untuk menyelesaikan krisis politik di Myanmar akan makin berat. Terlebih setelah dijatuhkannya vonis terhadap Aung San Suu Kyi dan ditangguhkannya pemilu – yang sudah dijanjikan junta militer – hingga tahun 2023.
Diperlukan soliditas dan sentralitas ASEAN untuk memaksa Kamboja mengikuti keputusan sebelumnya yang mengecualikan Myanmar. Kalau Kamboja membangkang dari keputusan itu, hal itu akan makin membuat ASEAN tidak berwibawa.