"Dalam testimoninya tentang Mas Ichwan yang dikirim ke saya, Mas Din menyatakan "kepulangan Almarhum KH. Ichwan Sam ke rahmatullah merupakan kehilangan bagi umat Islam Indonesia. Almarhum yg pernah berkhidmat semasa hidupnya sebagai Sekjen PBNU dan Sekum MUI adalah seorang administrator/organisator yg tekun dan pekerja keras"," tegasnya.
Masih menurut Asrorun, Ichwan merupakan pekerja keras dan berdedikasi untuk NU dan MUI. Di NU, Ichwan disebut menjadi salah satu aktor dalam modernisasi tata persuratan organisasi, dan terlibat dalam proses kembalinya NU ke Khittah.
"Di MUI, Mas Ichwan meninggalkan warisan pemapanan organisasi MUI sebagai pelayan umat dan mitra Pemerintah. Mas Ichwan juga yang menjadi aktor pendirian DSN MUI, lembaga otonom MUI yang khusus mengurusi fatwa ekonomi dan keuangan syariah. Mitra BI dan otoritas keuangan dalam menjalankan praktek ekonomi dan keuangan syariah," katanya.
"Hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk perjuangan lewat organisasi. Bahkan, saya menjadi saksi hidup, saat Mas Ichwan sakit stroke, sejak 2014, beliau masih memikirkan MUI. Saat kondisi membaik, selalu meminta untuk ngantor ke MUI. Dan meski kondisi fisik lemah, beberapa kali juga diantar ke kantor," tegasnya.
Dalam perjalanan roda organisasi MUI, jelas Asrorun, tiga orang yang menjadi motor penggerak roda organisasi untuk beberapa periode; Kyai Makruf Amin, Amidhan dan Ichwan.
"Kyai Makruf berperan pada ide dan gagasan keagamaan serta proses taqninnya. Pak Amidhan berperan membangun jejaring pemerintahan, dan Mas Ichwan memback up aspek administrasi dan loby dengan jejaringnya. Saya belajar dan berhutang pada ketiganya," jelasnya.
Masih menuruyt Asrorun, Sebagai aktifis tulen organisasi, Ichwan lebih memilih bekerja dalam diam. Berkarya dalam suyi namun meninggalkan legacy yang nyata dalam tatanan penguatan organisasi, termasuk LPPOM dan DSN MU.
"Produk organisasi diarsipkan dan ditata serta didokumentasikan dengan sangat baik. Tidak larut dalam hingar bingar panggung publik. Sehingga, meski peran organisasinya luar biasa, namun namanya di publik tidak setenar aktifis organisasi yang lain, semisal Mas Din dan sejenisnya<" katanya.
"Mas Ichwan sering mendistribusi tugas kepada para yunior, dari berbagai generasi. Buya Anwar Abbas, Mas Zainut Tauhid, Pak Amirsyah, Mas Rofiqul Umam, Pak Hasanudin, merupakan beberapa nama yang tumbuh di MUI dengan ruang kekaderan dari beliau. Beliau tekun, istiqamah, dan pekerja keras di balik meja. Maklum, beliau wartawan senior. Biasa menulis tentang orang, bukan tentang dirinya," ujarnya.
"Saya sering medapatkan mandat untuk menghadapi wartawan, ketika ada isu-isu aktual keagamaan yang ditanyakan, mewakili MUI, meski dari sisi usia masih sangat belia. Tidak jarang, isu-isu "berat" juga diamanahkan ke saya. Mas ichwan mendelegasikan kewenangan kepada banyak orang, sesuai kompetensinya," jelasnya.
Menurut Asrorun, Setidaknya, ada dua pelajaran penting yang ia peroleh dari Ichwan dalam berorganisasi, khususnya saat berkhidmah di NU dan MUI; yaitu komitmen untuk merawat kader dan menjaga harmoni serta menghindarkan diri dari konfrontasi dan konflik.
"Selalu ada sisi positif yang dilihat dalam berbagai dinamika organisasi. Ketika ada pengurus tidak aktif, dan ada yang protes akan ketidakaktifannya, beliau menasehatkan "lho, kalau tidak aktif justru memberi kesempatan sampeyan untuk lebih optimal berhidmah". Sebaliknya, kalau ada pengurus aktif, atau bahkan "terlalu aktif" sampai mengerjakan hal-hal yang bukan bidangnya, beliau bilang "ya malah bagus, punya semangat sehingga meringankan tugas yang lain"," katanya.
(Khafid Mardiyansyah)