“Jadi dari awal sebenarnya tidak ada gambaran bisa mbangun pondok pesantren. Semua berawal dari keprihatinan saya melihat moral generasi muda dengan pergaulan bebas. Anak-anak kecil sudah nggak bisa tata krama sama orangtuanya. Saya jadi prihatin, sampai kapan akan begitu. Lalu banyak anak-anak yang nggak punya bapak ibu, ekonominya susah dan putus sekolah. Kalau dibiarkan masa depan mereka bisa rusak kalau tidak diselamatkan,” papar Brigadir Eko.
Selepas dinas, setiap hari ia rela menyempatkan mengajar dari satu masjid ke masjid lain dan dari satu Taman Pendidikan Alquran (TPA) ke TPA yang lain di wilayahnya. Jarak yang jauh dan tumpukan lelah tak menyurutkan niatnya untuk mengajari anak-anak mengaji.
“Nah dari situ pula, saya tersentuh ketika kadang pas patroli atau pas sambang ke lapangan, melihat ada anak yatim piatu, hidupnya susah sampai ada yang putus sekolah. Saya berfikir betapa susahnya mereka dan bagaimana masa depannya nanti. Akhirnya saya tergerak hari untuk bagaimana bisa membantu mengangkat masa depan mereka. Akhirnya ada satu dua anak yatim dan piatu, saya tawari ikut saya mengaji dan mereka mau. Kemudian mereka saya sekolahkan juga,” terang Eko.
(Qur'anul Hidayat)