JAKARTA - Tokoh militer yang sempat mengenyam karier kemiliteran di dua tempat, yakni pendidikan CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren) atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan, serta KMA (Koninklijke Militaire Academie) alias Akademi Militer Kerajaan Belanda di Jatinegara, dialah Alexander Evert Kawilarang.
Alex Kawilarang dikenal sebagai pertarung republik ternama.
Ayahnya, AHH Kawilarang yang merupakan pensiunan perwira KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda berpangkat mayor, jadi inspirasi tersendiri buat Kawilarang untuk mengikut jejak ayahnya.
Dalam pendidikan di KMA, Kawilarang yang tidak lama dan harus ikut mobilisasi menghadapi invasi Jepang pada 1942. Tatkala Belanda menyerah di Kalijati, semua prajurit KNIL dijebloskan ke tahanan, termasuk Kawilarang.
Kawilarang sendiri dimasukkan ke kamp interniran Depot Bandung (kini Gedung Rindam III Siliwangi di Jalan Manado). Tiba saat sehari sebelum para tahanan akan digunduli Jepang, Kawilarang merencanakan kabur dari penjara.
Dia tahu bahwa jika digunduli, akan lebih sulit kabur karena akan lebih mudah diketahui meski sudah berada di luar kamp interniran. Hujan deras di malam hari mengiringi upaya lolosnya Kawilarang dari penjara bersama enam rekannya pada 20 April 1942.
Sebelum memutuskan keluar dari Pulau Jawa, Kawilarang lebih dulu pulang ke rumahnya menemui ayah dan ibunya, Nelly Betsy Mogot. Sang ibu pun kaget bukan kepalang ketika mendapati putra bungsunya di ambang pintu dengan keadaan compang-camping.
“Apa-apaan ini?,” cetus Nelly Mogot yang kaget melihat putranya, sebagaimana dikutip dari buku ‘Kolonel AE Kawilarang: Panglima Pejuang & Perintis Kopassus’ karya Hikmat Israr terbitan 2010.
Setelah membiarkan Kawilarang bersih-bersih dan berganti pakaian, sang ibu yang cemas akan nyawa anaknya justru menyuruhnya kembali ke kamp tahanan Jepang.
“Kamu bisa ditembak mati kalau tertangkap lagi. Ayo, kembali saja ke sana,” seru sang ibu.
Namun sang ayah yang sudah lebih paham akan maksud putranya untuk kabur dari Bandung, menginstruksikan putranya untuk tetap kabur. Setelah mendengarkan rencana Kawilarang untuk lebih dulu ke Lengkong menemui seorang famili dan kemudian ke Jakarta, sayang ayah menyetujui.
“Selamat, selamat! Kalau ada jalan, beri tahu kami, di mana kamu berada. Selamat!,” ungkap sang ayah yang kemudian memeluk Kawilarang sebelum putranya pergi lagi.
“Selamat tinggal Mam, Ayah. Doakan Alex!,” cetus Kawilarang yang kala itu tidak tahu bahwa kalimat tersebut jadi kata-kata terakhirnya untuk sang ayah yang meninggal beberapa waktu kemudian.