“Orang-orang takut untuk berbicara satu sama lain. Orang tidak tahu bagaimana perasaan orang lain. Jadi mereka mencoba menilai, tahukah Anda, bagaimana perasaan Anda? Orang-orang takut menyebut Gaza di tempat kerja. Mereka hanya ingin berpura-pura hal itu tidak terjadi,” katanya kepada The Post.
Sejak bulan Oktober, Rharrit menolak memberikan wawancara kepada media Arab mengenai Gaza karena dia merasa pokok pembicaraan yang 'provokatif' akan memperburuk situasi, daripada menenangkannya.
“Mereka seringkali mengabaikan warga Palestina. Pada awalnya, pernyataan ini sangat-sangat berat mengenai 'Israel mempunyai hak untuk membela diri.' Ya, Israel punya hak untuk membela diri, tapi tidak disebutkan penderitaan rakyat Palestina,” katanya.
“Saya, dengan hati nurani yang baik, tidak dapat tampil di televisi Arab dengan pokok pembicaraan tersebut. Semua tindakan tersebut akan menyebabkan seseorang ingin melemparkan sepatunya ke arah TV, ingin membakar bendera Amerika, atau, lebih buruk lagi, melemparkan roket ke arah pasukan kita,” lanjutnya.
'Saya berkata, 'Saya tidak akan menjadi alasan mengapa seseorang semakin membenci Amerika,” tambahnya.
Berbicara kepada NPR, Rharrit mengaku ditegur atas keputusannya.
“Saya dituduh melakukan pelanggaran, karena masalah perilaku, dan saya menolak melakukan pekerjaan saya. Saya diberitahu untuk kembali mengudara atau membatasi atau mengundurkan diri. Membatasi berarti mempersingkat tugas Anda. Atau mengundurkan diri, saya diberi ultimatum,” katanya.