Setelah melakukan serangkaian pertemuan dan pembicaraan, pada 19 Desember 1822 Putra Mahkota yang masih balita berusia 2 tahun ditetapkan sebagai sultan. Selain penetapan sultan sebagai putra mahkota, pengumuman Residen Belanda juga membacakan keputusan melantik para wali sultan.
Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi yang dilantik sebagai wali sultan, dinilai tepat. Sebab keduanya dinilai pribadi yang cukup tenang dan tidak sedikit pun memiliki ambisi politik.
Tetapi konon Pangeran Diponegoro tetap memendam kekecewaan konflik selama ia memerintah wali sultan di keraton. Meskipun ia hadir dalam upacara penobatan sebagai wali sultan, Diponegoro merasa terhina. Ketika ia disumpah itulah Pangeran Diponegoro konon sampai tidak sadar merobek pakaian resminya.
Terlepas dari permusuhan Diponegoro dengan ibu tirinya, serta keraton. Ia tetap melaksanakan tugas perwalian sultan dengan baik selama hampir setahun, sejak ia ditunjuk. Hanya ketika kedatangan Smissaert di tengah pertengahan Februari 1823, dan kedatangan asistennya, Chevallier, enam bulan kemudian terjadi permusuhan pribadi yang membuatnya melepaskan jabatan wali sultan.
(Awaludin)